Jumat, 02 Mei 2014

Makalah Antropologi Pendidikan

 BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Manusia menciptakan kebudayaan karena kebudayaannya manusia hidup berbudaya. Kebudayaan mempengaruhi atau membangun kepribadian seseorang atau suatu bangsa melalui cara-cara pendidikan. Sebab itu, pendidikan pada dasarnya merupakan upaya kebudayaan dengan maksud mempertinggi kualitas hidup berbudaya. Kebudayaan dapat digolongkan menjadi kebudayaan suku bangsa, kebudayaan umum lokal, dan kebudayaan bangsa (nasional). Masyarakat dan bangsa Indonesia bersifat majemuk. Kemajemukan sosial budaya pada suku-suku bangsa di Indonesia di satu pihak merupakan kebanggaan, tetapi di pihak lain juga dapat menimbulkan kesulitan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang merata dan menyeluruh, khususnya di bidang pendidikan. Sehubungan dengan itu, para pendidik perlu mempelajari antropologi pendidikan.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1        Apa yang dimaksud tentang konsep kebudayaan?
1.2.2        Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian?
1.2.3        Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan?
1.2.4        Bagaimana profil karakteristik fisik manusia Indonesia?
1.2.5        Bagaimana profil karakteristik lingkungan fisik manusia     Indonesia?
1.2.6        Bagaimana profil kemajemukan sosial-budaya Indonesia?
1.2.7        Bagaimana implikasi profil karakteristik sosial budaya Indonesia terhadap penyelenggaraan pendidikan?

1.3  Tujuan

1.3.1        Mampu menjelaskan tentang konsep kebudayaan.
1.3.2        Mampu menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian.
1.3.3        Mampu menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan.
1.3.4        Mampu menjelaskan profil karakteristik fisik manusia Indonesia.
1.3.5        Mampu menjelaskan profil karakteristik lingkungan fisik manusia Indonesia.
1.3.6        Mampu menjelaskan profil kemajemukan sosial-budaya Indonesia.
1.3.7        Mampu menjelaskan implikasi profil karakteristik sosial budaya Indonesia terhadap penyelenggaraan pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Antropologi
            Antropologi dapat dirumuskan secara umum sebagai salah satu ilmu yang berusaha mempelajari manusia dari bentuk biologis, masyarakat dan kebudayaannya. Ada beberapa subdisiplin dalam hal ini, seperti :
  • Paleo antropologi, mengenai berbagai evolusi biologisnya.
  • Antropologi biologis, mengenai berbagai ciri fisiknya.
  •  Antropologi prehistoris, mengenai perkembangan berbagai kebudayaannya.
  •  Etnolinguistik, mengenai perkembangan berbagai bahasanya.
  • Etnologi, mengenai berbagai asas masyarakat dan kebudayaan suku bangsa.

Pendidikan sebagai ilmu normatif, banyak berpikir “secara deduktif”, misalnya inovasi apa yang perlu diterapkan, melalui saluran komunikasi mana akan dipakai dalam hal ini, berapa waktu diperlukan dan sistem sosial mana yang menjadi sasaran. Jadi, dalam hal ini manajemennya banyak menggunakan pola manajemen berdasarkan sasaran secara umum.
Sedangkan antropologi sebagai ilmu deskriptif, banyak berpikir “secara induktif”, misalnya dalam hal ini perhatian dipusatkan pada sistem sosial yang menjadi sasaran dahulu, sehingga “the inside view” tampak jelas, baru akan tampak antara lain tentang waktu, tentang saluran dan tentang inovasi yang datangnya dari luar itu, dapat bertemu secara serasi, selaras dan seimbang dengan kemauan dan kemampuan dari dalam tadi. Jadi dalam hal ini, manajemennya banyak menggunakan pola manajemen berdasarkan kasus yang bersangkutan.
Jadi, apakah ilmu antropologi pendidikan Indonesia itu? Ia adalah ilmu antropologi terapan, yang saat ini sebaiknya digunakan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dasar, khususnya di daerah pedalaman/terpencil/sulit dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Antropologi pendidikan Indonesia, di negara kepulauan dan negara berkembang ini, diperlukan karena ia dibutuhkan. Dan kebutuhan ini adalah salah satu tantangan dalam rangka peningkatan ketahanan nasional kita.

2.2  Kebudayaan, Kepribadian, dan Pendidikan
2.2.1 Konsep Kebudayaan
1.      Definisi Kebudayaan
Dalam arti sempit kebudayaan adalah kesenian, yaitu pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Adapun dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh total  dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manuia sesudah suatu proses belajar (Koentjaraningrat, 1984). Dengan kata lain kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985).

2.      Unsur –unsur Universal Kebudayaan
Kebudayan mengandung pengertian yang amat luas meliputi hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia karenanya demi keperluan analisis konsep tentang kebudayaan maka kebudayaan tersebut perlu dipecah lagi ke dalam unsur – unsurnya. Menurut Koentjaraningrat (1984) terdapat 7 unsur universal kebudayaan, yaitu sebagai berikut :
a.       Sistem religi dan upacara keagamaan.
b.      Sistem organisasi kemasyarakatan.
c.       Sistem pengetahuan.
d.      Bahasa.
e.       Kesenian.
f.        Sistem mata pencaharian.
g.       Sistem teknologi dan peralatan.
Tata urutan unsur – unsur universal kebudayan di atas menggambarkan kontinum dari unsur – unsur yang paling sukar berubah ke unsur – unsur yang paling sukar berubah ke unsur – unsur yang paling mudah berubah.
3.      Wujud Kebudayaan
Kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu sebagai berikut :
a.       Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayan sebagai suatu kompeks dari ide-ide, gagasan, nilai – nilai, norma –norma, peraturan.
b.      Wujud sistem sosial, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompeks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c.       Wujud fisik, yaitu wujud kebudayan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud ini dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Kebudayaan ideal memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran – pikiran dan ide – ide maupun perbuatan dan karya manusia menghasilkan benda – benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.

4.      Sifat atau Karakteristik Kebudayaan
Kebudayaan memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Organik dan Super Organik. Kebudayaan bersifat organik sebab kebudayaan berakar pada organ manusia, tanpa manusia berbuat, berfikir, merasa, dan membuat benda – benda maka tidak akan ada kebudayaan. Kebudayaan super organik karena kebudayan hidup terus melampaui generasi tertentu dan karena isinya lebih merupakan hasil karya manusia daripada hasil unsur biologis.
b.      Overt (terlihat) dan covert (tersembunyi). Kebudayan terlihat (overt) dalam bentuk tindakan – tindakan dan benda –benda, seperti rumah, pakaian, bentuk pembicaraan yang dapat diamati secara langsung  sedangkan tersembunyi (covert), yakni dalam aspek sikap dasar terhadap alam fisik dan alam ghaib yang mesti diinterprestasikan pengertiannya dari apa yang dikatakan dan dilakukan anggota-anggotanya.
c.       Ideal dan Aktual (Manifes). Kebudayaan ideal terdiri atas cara berbuat yang mereka yakini harus dilakukan atau bagaimana seharusnya mereka berbuat/berkelakuan sesuai dengan kepercayaannya (normatif), sedangkan bersifat aktual (manifes) maksudnya kebudayaan itu merupakan tindakan – tindakan yang nyata. Di dalam suatu masyarakat mungkin terjadi perbedaan (ketidaksesuaian) antara yang aktual dengan yang ideal. Mungkin kekejujuran dan keadilan lebih merupakan budaya ideal daripada manifes. Kejujuran dan keadilan hanyalah menjadi hiasan bibir berkala.
d.      Stabil dan berubah. Terdapat hal-hal yang dipertahankan oleh masyarakat agar tetap tidak berubah (stabil), tetapi terjadi pula perubahan-perubahan kebudayaan di dalam masyarakat. Para antropolog umumnya menerima ketidaktetapan kebudayaan. (Imran Manan,1989).

5.      Fungsi Kebudayaan
Seperti yang telah diuraikan terdahulu kebudayaan maliputi ide-ide, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, norma-norma (wujud ideal), benda-benda atau alat-alat hasil karya manusia (wujud fisik), dan peraturan mengenai hidup berkelompok (wujud sistem sosial). Semua ini membentuk suatu dasar atau landasan juga “peralatan” besar yang menempatkan manusia pada posisi yang lebih baik untuk dapat menanggulangi realita kehidupan, untuk dapat menangani masalah-masalah dalam menghadapi lingkungannya dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan dasar dan alat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu kelangsungan hidup organis, penyesuaian terhadap lingkungan, dan kelestarian dalam arti biologis. Berkaitan dengan hal diatas Kerber dan Smith (Imran Manan, 1989) mengemukakan fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :
a.       Pelanjut keturunan dan pengasuhan anak.
b.      Pengemban kehidupan ekonomi.
c.       Transmisi budaya.
d.      Religi (keagamaan).
e.       Pengendalian sosial.
f.        Rekreasi.

2.2.2        Kebudayaan dan Kepribadian
1.      Kepribadian dan Kepribadian Bangsa
Kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menetukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia (Koentjaraningrat, 1983). Adapun menurut John J. Honnigman kepribadian itu menunjukkan adanyatingkah laku, cara berpikir, dan perasaan-perasaan yang merupakan karakteristik dari seseorang (Agraha Suhandi, 1985).
Kepribadian individu terbentuk di dalam lingkungan hidupnya sepanjang hidup individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, upaya memahami kepribadian tanpa menghubungkan engan konteks lingkungan hidupnya akan merupakan gambaran mati yang kurang berarti. Memang sesungguhnya kepribadian itu tampak di dalam tingkah lakunya yang terperagakan di dalam lingkungan hidupnya.

2.      Manusia Menciptakan Kebudayaan dan karena Kebudayaannya Berbudaya
Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Namun, sebaliknya kebudayaan itu menyusupi kehidupan sadar manusia, bahkan kebudayaan memasuki diri manusia waktu tidur, yaitu dalam bentuk pola tidur dan dalam isi mimpi sewaktu tidur. Kebudayaan membentuk manusia secara intelektual, emosional, secara fisik dan atau tingkah laku manusia. Mengingat hal tersebut dan dengan mengacu kepada pengertian kepribadian sebagaimana telah dikemukakan di atas maka dapat dipahami adanya hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian, yaitu bahwa kebudayaan berpengaruh  atau membangun kepribadian seseorang. Bayi yang baru lahir seluruhnya masih tergantung kepada orang lain, ia belum mengetahui apa-apa, tidak bisa mengendalikan emosinya, belum sanggup berbagi mengenai apa yang dimilikinya, belum mampu membayangkan masa depannya, dan sebagainya. Namun demikian, dengan kebudayaan masyarakatnyapada akhirnya secara bertahap ia menjadi dewasa dengan keinginan-keinginan dan kebencian yang terkendalikan, berpengetahuan, dan dapat berperan serta dalm kehidupan masyarakat yang kompleks.
Dilihat dari kepribadiannya, setiap masyarakat akan menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
a.       Di dalam masyarakat yang berbeda-beda (majemuk) norma-norma kepribadian itu berlainan.
b.      Anggota masyarakat mana pun selalu akan menunjukkan perbedaan-perbedaan individual mengenai kepribadiannya.
c.       Dalam semua masyarakat itu terdapat hampir semua tipe kepribadian yang sama.
d.      Dalam semua masyarakat itu terdapat macam perbedaan-perbedaan yang sama.
Adanya perbedaan kebudayaan pada dua atau lebih kelompok masyarakat akan menyebabkan perbedaan-perbedaan kepribadian, hal ini disebabkan diperolehnya pengalaman yang berbeda-beda oleh setiap anggota kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaannya itu melalui hubungannya dengan kebudayaan mereka masing-masing.
Sebaliknya dari hal di atas, dalam setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa dan kelompok bangsa dapat dipastikan bahwa anggota-anggota suatu masyarakat, suku bangsa atau bangsa akan bersama-sama memiliki sejumlah besar unsur-unsur kepribadian yang sama dan umum. Unsur-unsur kepribadian yang sama dan umum ini bersama-sama membentuk pola yang cukup terintegerasi yang disebut tipe kepribadian dasar bagi masyarakat atau bangs itu secara keseluruhan. Tipe kepribadian dasar itu disebut juga communal personality, basic personality structure atau national character. Tipe kepribadian inilah yang sering disebut sebagai kepribadian sesuatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia tipe kepribadian ini antara lain adalah kehidupan gotong royong, ramah tamah atau juga sering dikatakan bahwa Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia (Agraha Suhandi, 1985).

3.      Pendidikan / Enkulturasi
Kebudayaan mempengaruhi manusia melalui apa yang disebut dengan enkulturasi atau internalisasi budaya, yaitu suatu proses di mana seorang individu menyerap cara berpikir, bertindak, dan merasa yang mencerminkan kebudayaannya.
Enkulturasi berlangsung di dalam berbagai lingkungan, seperti keluarga, sekolah, dan pergaulan di dalam masyarakat. Proses enkulturasi juga dapat berlangsung melalui berbagai media, seperti televisi, radio, film, upacara-upacara.dalam arti luas, bahwa enkulturasi ini berlangsung dalam kehidupan dan sepanjang hayat.  Jadi, cara berpikir, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan seseorang dipengaruhi atau dibangun melalui pendidikan (enkulturasi). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan mempengaruhi (membangun) kepribadian seseorang melalui proses enkulturasi atau pendidikan.

2.2.3        Kebudayaan dan Pendidikan
Pendidikan tidak pernah berlangsung di dalam suatu ruang hampa, melainkan selalu berlangsung di dalam suatu ruang masyarakat tertentu, dan untuk suatu tujuan kehidupan suatu masyarakat tertentu pula. Antara masyarakat dan kebudayaan merupakan dwi tunggal, secara nyata tak dapat dipisahkan. Sebab itu, akan terdapat hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan.

1.      Pendidikan sebagai Pranata Pendidikan
Sebelum membahas hubungan antar  kebudayaan dengan pendidikan, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa pendidikan merupakan salah satu pranata kebudayaan. Pranata adalah suatu kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaan (wujud kedua dari kebudayaan), yang mengacu kepada sistem ide, nilai-nilai, gagasan, norma-norma, peraturan, dan sebagainya (wujud pertama dari kebudayaan), yang dilakukan dengan menggunakan peralatan (wujud ketiga dari kebudayaan) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Koentjaraningrat (1984) mengidentifikasi adanya delapan jenis pranata kebudayaan, salah satu diantaranya pranata pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu pranata dalam kebudayaan manusia karena itulah pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Contoh pranata pendidikan ini, antara lain pengasuhan kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pemberantasan buta huruf, pendidikan keagamaan, pers, perpustakaan umum.

2.      Hubungan Kebudayaan dan Pendidikan
Antara kebudayaan dengan pendidikan terdapat hubungan komplementer. Pertama, kebudayaan berperan sebagai masukan (input) bagi pendidikan. Contohnya, tujuan pendidikan ditentukan oleh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat (wujud pertama kebudayaan) kurikulum dan metode pendidikan, antara lain akan ditentukan oleh nilai-nilai, norma-norma, dan gagasan-gagasan masyarakat (wujud pertama kebudayaan), serta ditentukan pula oleh wujud kebudayaan sebagai suatu kelakuan berpola dari suatu masyarakat (wujud kedua kebudayaan) adapun wujud ketiga dari kebudayaan (wujud fisik berupa bangunan, OHP) akan menjadi alat bantu dalam rangka praktik pendidikan. Kedua, pendidikan berfungsi untuk melestarikan kebudayaan masyarakat (fungsi konservasi) dan juga berfungsi dalam rangka melakukan pengembangan dan atau perubahan kebudayaan masyarakat ke arah yang lebih baik (fungsi kreasi atau inovasi).
Fungsi konservasi atau pelestarian kebudayaan merupakan fungsi pendidikan dalam rangka pewarisan kebudayaan. Hal yang harus diwariskan kepada generasi muda tentunya adalah kebudayaan ideal (misalnya nilai kejujuran, keadilan, pola perilaku yang baik, dan sebagainya) sehingga kebudayaan ideal milik masyarakat menjadi lestari. Namun demikian, pendidikan tidak cukup melaksanakan fungsi konservasi saja,sebaliknya pendidikan juga harus melaksanakan fungsi inovasi atau kreasi. Apabila pendidikan hanya merupakan transmisi kebudayaan saja maka perkembangan kebudayaan akan terhambat, masyarakat hanya akan bersifat pasif karena hanya menerima saja apa yang diwariskan para orang tua atau pendidiknya sehingga generasi muda akan terhambat. Fungsi kreasi atau inovasi dari pendidikan merupakan fungsi untuk diciptakannya kebudayaan baru yang lebih baik, sesuai dengan tuntutan kehidupan, dan perkembangan zaman.

3.      Pendidikan Stabilitas dan Perubahan Kebudayaan
 Pendidikan / enkulturasi yang diterima anak selama masa kanak-kanak dan masa mudanya bersifat menstabilkan kebudayaan, sebab enkulturasi mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sosial yang diterima menjadi kepribadian yang makin meningkat/matang. Sedangkan di kala dewasa enkulturasi sering mendorong terjadinya perubahan baik bagi dirinya maupun kebudayaan. Berkenan dengan ini Herkovits (Imran Manan, 1985) menunjukkan :
Perbedaan antara sifat pengalaman enkulturasi pada awal-awal kehidupan dengan yang belakangan adalah bahwa rentangan penerimaan atau penolakan yang sadar oleh individu terus menerus bertambah tua. Ketika ia mencapai kematangan, seorang laki-laki atau wanita sudah menjadi terkondisi hingga ia bisa bergerak dengan mudah dalam batas-batas perilaku yang diuji oleh kelompoknya. Sesudah itu, bentuk perilaku baru yang dihadapinya terutama yang menyangkut perubahan kebudayaan, penemuan baru, atau penemuan tiba-tiba, ide-ide baru yang disebarkan dari luar masyarakatnya,yang mana seorang individu harus “memutuskan sendiri” dan dengan demikian memainkan peranan dalam memberi arah baru kepada kebudayaannya. Enkulturasi seorang individu selama tahun-tahun awal dari kehidupannya adalah mekanisme pokok yang membuat sebuah kebudayaan stabil, sementara proses yang berjalan pada anggota masyarakat yang lebih tua sangat penting dalam mendorong perubahan.
Telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa kebudayaan mempunyai sifat stabil atau konstan dan juga berubah. Stabil dalam arti beberapa elemennya seperti bahasa, hukum berlanjut terus tanpa perubahan besar selama waktu yang penjang. Berubah karena elemen-elemen kebudayaan baik secara perlahan dan mungkin secara tiba-tiba mengalami penggantian, penambahan atau pengurangan. Para antropolog mengemukakan 3 proses utama dalam perubahan kebudayaan. Ketiga jenis proses perubahan kebudayaan yang dimaksud adalah originasi, difusi, dan reinterpretasi. Originasi adalah penemuan elemen-elemen baru dalam suatu kebudayaan. Difusi adalah peminjaman elemen-elemen kebudayaan baru dari kebudayaan lain. Adapun reinterpretasi adalah modifikasi elemen-elemen budaya yang ada untuk memenuhi tuntutan zaman.
 
4.      Cultural Lag
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat terkadang menimbulkan apa yang disebut cultural lag atau kesenjangan budaya. Di dalam masyarakat, misalnya kita dapat melihat cepatnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara nilai-nilai takhayul tertentu sebagaimana sering ditayangkan di televisi, atau kepercayaan terhadap perdukunan masih dianut oleh sebagian masyarakat. Perkembangan teknologi komunikasi informasi begitu canggih, promosi produk industrimenjadi efektif melalui teknologi tersebut. Sementara nilai-nilai tertentu (seperti individu mempunyai tujuan dan kebutuhan pada dirinya sendiri, hidup hemat, kejujuran) terabaikan. Akhirnya, muncul masalah dimana produksi bukan lagi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebaliknya kebutuhan manusia diciptakan oleh produksi dan promosi, pola hidup konsumerisme, mungkin pula terjadi promosi produk industri yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran.


2.3      Karakteristik dan Kemajemukan Sosial Budaya Indonesia

2.3.1        Karakteristik Fisik Suku-suku Bangsa di Indonesia
Para sarjana Antropologi menggolongkan manusia kedalam tiga ras pokok, yaitu ras Kaukasoid ( putih ), Mongolid ( kuning ), dan ras Negroid( hitam ). Penggolongan ke dalam ras tersebut didasarkan atas perbedaaan karakteristik wujud fisik yang tampak nyata, seperti bentuk kepala, bentuk muka, bentuk hidung, bentuk mata, bibir dan telinga, warna mata, rambut, dan kulit, bentuk rambut, serta bentuk dan tinggi badan. Akan tetapi, menghadapi kesulitan dalam menentukan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan penggolongan ras diatas maka biasanya digunakanlah 11 konsep ras yaitu (1) ras kaukasoid, (2) ras mongoloid, (3) ras negroid, (4) ras melanisia, (5) ras mikronesiapolynesia, (6) ras pygmee(Kongo), (7) ras austroloid, (8) ras bushman hotentot, (9) ras ainu, (10) ras vedoid (Wedda), (11) ras pygmee (Timur Jauh).
Sebagaimana dikemukakan Agraha Suhandi (1985) berdasarkan hasil penelitian bahwa di Indonesia dapat digolongkan kedalam 3 ras, yaitu ras Negroid, ras Mongoloid, dan ras Vedoid (Wedda). Karakteristik dari masing-masing ras tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Ras Negroid (Negrito): berkulit hitam, rambut keriting, tinggi badan kurang lebih 1,50 meter, kepala pendek (brachicephali). Unsur ras ini /masih tampak antara lain pada suku bangsa di Irian Jaya (Papua).
2.       Ras Vedoid (Wedda): Kulit sawo matang, rambut ikal,atau bergelombang, tinggi badan kurang lebih 1,50 meter , bentuk kepala panjang (dolicho cephali). Unsur ras ini masih tampak pada suku bangsa Enggano, Kubu, Dayak Barito, Toala di Sulawesi, Mentawai, Nias, dan tampak sedikit pada sebagian kecil suku bangsa Batak.
3.      Ras Mongoloid: Ras Mongoloid di Indonesia kadang-kadang disebut juga ras Melayu dengan karakteristik: kulit agak kuning, rambut lurus, tinggi badan kurang lenih 1,50 meter, bentuk kepala pendek (brachichepali). Suku bangsa yang memperlihatkan karakteristik ras ini merup[akan sebagian besar yang sampai sekarang terdapat di Indonesia.
Menurut Kleiweg de Zwaan (Agraha Suhandi, 1985) ras tersebut berasal dari Hindia Belakang yang kemudian berpindah ke Indonesia karena berbagai sebab.
1.      Ras Melayu
Ras Melayu (Mongoloid) ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut:
a.       Proto Melayu: karakteristik fisiknya sama seperti yang telah dikemukakan diatas. Ras ini masih tampak pada sukun bangsa di Kalimantan tengah, Toraja, Nusa Tenggara, suku bangsa Batak, dan juga di Irian Barat.
b.      Deutero Melayu: karakteristik fisik umumnya sam seperti yang telagh dikemukakan diatas, tetapi bentuk kepalanya agak pendek (dolicho cephali). Unsur-unsur ras ini, antara lain tampak pada suku-suku bangsa di daerah pantai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, dan Bali.
Ada suatu teori yang mengemukakan bahwa penduduk Indonesia pertama-tama adalah bangsa Negrito. Kemudian, perpindahan bangsa-bangsa ke Kepulauan Indonesia ras Wedda dan Melayu dari Hindia Belakang, kemudian mereka bercampur dalam waktu berabad-abad sehingga menjadi satu dan melahirkan bangsa Indonesia yang sekarang. Memang sulit menetukan ras apakah yang dominan yang terdapat pad bangsa Indonesia saat ini. Namun demikian, kiranya anda dapat memahami tentang latar belakang ragamnya karakteristik fisik bangsa Indonesia. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa pengertian ras berbeda dengan pengertian bangsa.

2.3.2        Karakteristik Lingkungan Fisik Manusia ( Masyarakat ) di Indonesia
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia luasnya kurang lebi 1.926.170 km persegi. Wilayahnya berupa Kepulauan Nusantara yang terdiri atas kurang lebih 13.000 pulau yang meliputi laut, pedalaman diantara pulau-pulaunya. Dibandingkan dengan luas wilayah negara-negara lain, betapa luasnya wilayah negara kita, Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang tinggal tersebar di berbagai pulau tersebut, bahkan masih banyak pulau-pulau yang masih kosong yang belum berpenghuni.
Secara geografik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di antara benua Asia dan  benua Australia, dan di antara samudera India dan samudera Pasifik. Posisi wilayah negara kita terletak pada posisi silang yang tentu saja mempunyai implikasi fisikal, social,ekonomi, maupun politik.
Secara astronomik  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak antara 95° BT -  141° BT, dan antara 6°LU - 11°LS. Akibat letak astronomik tersebut seluruh  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia beriklim tropika. Di negeri ini berlangsung dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Adapun mengenai waktu, terdapat 3 daerah waktu, yaitu WIT, WITA, dan WIB.
Lingkungan fisik masyarakat (bangsa) Indonesia terdiri atas pegunungan, hutan, perbukitan, sungai, pesisir pantai, lautan, daratan, rawa-rawa. Ditinjau dari segi topografi lingkungan fisik ini ada yang berupa lereng yang curam, landai, datar, lembah. Sedangkan ditinjau dari segi hidrologi lingkungan fisik ini ada yang gersang, kering, lembab, dan basah.
Diperkirakan kurang lebih 20% masyarakat kita bermukim di berbagai kota. Dalam konteks ini yang dimaksud kota adalah ibu kota: negara, propinsi, kabupaten atau kota, dan kecamatan. Sedangkan kurang lebih 80% lainnya bermukim di pedesaan atau perkampungan. Lingkungan fisik permukiman mereka secara khusus juga cukup  beragam. Keragaman tersebut antara lain ada yang bermukim di sepanjang jalan, di tepian sungai, seperti pada pola kampung pada suku Bugis-Makasar, di puncak-puncak bukit atau gunung, seperti pola kampung  suku bangsa Nias, di atas rawa-rawa, lembah-lembah, tepian pantai, dan sebagainya. Di antaranya lingkungan fisik masyarakat kita masih merupakan daerah pedalaman atau terpencil sebagaimana halnya pemukiman masyarakat suku bangsa Kubu yang bermukim di daerah perbatasan antara Jambi dan Palembang, pemukiman masyarakat suku bangsa Mentawai di Sumatera Barat, suku-suku bangsa yang hidup di pedalaman Kalimantan, Papua (Irian Jaya),Halmahera, dan di daerah pedalaman di pulau-pulau lainnya.
Tuhan menganugerahi masyarakat (bangsa) Indonesia lingkungan fisik yang luas, bervariasi dan mengandung kekayaan luar biasa sebagai sumber alam bagi pembangunan yang mendukung bagi pencapaian kemakmuran. Lingkungan fisik yang beriklim tropis sangat kondusif untuk pertanian, dan pad umumnya tanahnya pun subur (tetapi ada daerah-daerah yang tidak subur, seperti di pulau Flores); mempunyai berbagai sumber mineral, sumber minyak, hutan kayu, kekayaan laut gunung berapi, keragaman tumbuhan keragaman satwa. Selain itu, lingkungan fisik masyarakat (bangsa) kita juga mempunyai keindahan tersendiri. Masyarakat (bangsa) Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Tuhan YME, memanfaatkan kekayaan lingkungan fisik tersebut dengan mengolahnya secara bijaksana agar kelestariannya dan keutuhannya tetap terjaga demi kesejahteraan seluruh masyarakat (bangsa) Indonesia.

2.3.3        Kemajemukan Sosial – Budaya Bangsa Indonesia
Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “Bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini merupakan sebuah masyarakat majemuk, baik dalam hal suku bangsa, agama yang dianutnya, adat istiadat atau lebih umum lagi dalam hal kebudayaannya”. Apabila lingkaran hukum adat digunakan sebagai pengukur maka ditemui paling tidak ada 19 daerah lingkaran hukum adat. Jika hukum adat digunakan sebagai pencerminan sebuah kebuyaan maka akan ditemukan 19 ragam kebudayaan. Ke-19 hukum adat tersebut kalau dilihat dari suku bangsa dan bangsa pendukungnya maka keragaman tersebut makin menonjol (makin majemuk lagi) karena terdapat lebih dari 200 jumlahnya. Keragaman tersebut bertambah ruwet lagi dengan adanya keragaman yang dianut; Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan lainnya (Imron Manan, 1989).
Menurut Parsudi Suparlan (A. W. Widjaya, 1986) dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terdapat tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai corak sendiri-sendiri. Ketiga golongan kebudayaan ini sati sama lain memang berbeda, tetapi saling berkaatan merupakan satu kesatuan sebagai kebudayaan Indonesia. Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah (1) Kebudayaan Suku Bangsa atau Kebudayaan Daerah, (2) Kebudayaan Umum Lokal, dan (3) Kebudayaan Nasional. Masing-masing kebudayaan tersebut bukan hanya menjadi landasan bagi corak pranata-pranata sosialnya, tetapi juga mewarnai corak dari berbagai situasi-situasi sosial yang secara keseluruhan merupakan suasana-suasana (spheres) kehidupan sosial yang dapat digolongkan ke dalam (1) suasana suku bangsa, (2) suasana umum lokal, dan (3) suasana nasional.
Suasana suku bangsa merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan para warga masyarakat suku bangsa yang berlandaskan pada pranata-pranata sosial yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa. Suasana ini terwujud dalam kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat di desa, hubungan-hubungan kekerabatan, dan dalam  berbagai upacara dan ritual sosial keagamaan. Suasana umum lokal merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan para warga   eesuatu bagian dari masyarakat majemuk yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku bangsa sehingga kegiatan-kegiatan kehidupan tersebut berlandaskan atas pranata-pranata sosial yang bersumberkan atas kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang berlaku setempat; dan dalam beberapa hal juga dipengaruhi oleh kebudayaan nasional. Suasana umum lokal terwujud di tempat-tempat uum, pasar, dan di tempat-tempat pergaulan terjadi. Suasana umum lokal merupakan wadah bagi terjadinya interaksi diantara warga dari berbagai suku bangsa yang menjadi komponen dari masyarakat tersebut. Suasana umum lokal biasanya lebih tampak perwujudannya dalam keidupan di kota daripada di pedesaan karena di kotalah biasanya warga dari berbagai suku bangsa itu lebih banyak dan lebih sering bertemu.
Adapun suasana nasional biasanya terwuud dalam berbagai kegiata di kantor-kantor pemerintahan, sekolah dan perguruan tinggi, dan berbagai upacara-upacara yang bersifat nasional. Dalam suasana nasional identitas yang diginakan oleh para pelakunya dalaminteraksi adalah bersumber pada sisstem penggolongan dan peranan yang ada dalam kebudayaan nasional.
Untuk lebih mendapatkan gambaran kemajemukan masyarakat dan kebudayaan Indonesi, berikut ini akan dideskripsikan enam unsur kebudayaan unuversal beberapa suku bangsa yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, di antaranya pola perkampungan/desa, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, mata pencaharian hidup, bahasa, kesenian, dan agama/religi.
1.      Pola Perkampungan/Desa
Suatu kesatuan pola perkampungan yang disebut kampung demikian juga perluasannya, seperti desa bagi suku-auku bangsa di Indonesia memiliki pola yang berbeda-beda. Agraha Suhardi (1985) secara umum penggolongan pola kampung atau desa ini kedalam 3 pola, yaitu (a) pola kampung atau desa tinier, (b)  pola kampung atau desa radial, dan (c) pola kampung atau desa di tengah-tengah ada lapangan/alun-alun. Namun demikian, pola –pola kampung disuatu daerah kadang kala menunjukkan adanya beberapa pola tergantung dan keadaan lingkungan dimana kampung atau desa itu berada. Dengan demikian tidak mungkin untuk mengatakan pola kampung tertentu merupakan pola yang khas untuk suatu suku bangsa, sebab kenyataannya setiap suku bangsa memiliki pola kampung/desa campuran. Contoh beberapa keragaman pola perkampungan atau desa yang dimaksud sebagaimana dideskripsikan dalam uraian dibawah ini.
Pola kampung suku bangsa Sunda ada yang berderet, berkelompokdan ada pula yang memiliki tanah lapang yang dilengkapi dengan lumbung padi, saung lisung (tempat menumbuk padi), kandang ternak, balong (kolam), dan pancuran (tempat mandi dan cuci).
Pola kampung suku Jawa ditandai dengan adanya rumah-rumah beserta pekarangan yang satu dengan yang lain dipisahkan denagn pagar bambu atau pagar hidip. Ada diantara rumah tersebut dilengkapi dengan lumbung padi, kandang ternak, dan perigi. Kampung yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan jalan kampung. Rumah-rumah berjajar menghadap ke jalan. Pola kampung di Minangkabau hampir sama dengan pola kampung suku bangsa Jawa, rumah-rumah terletak dikanan dan dikiri jalan. Pola desa yang disebut nagari biasanya dilengkapi denagn adanya mejid, sebuah balai desa dan pasar.
Pola kampung pada suku bangsa Bugis-Makasar dibentuk oleh rumah-rumah berderet sepanjang  jalan atau sungai. Apabila kampung itu terletak di sepanjang tepian sungai maka rumah-rumah itu dibangun membelakangi sungai. Bagi suku bangsa Minahasa pola kampung dibentuk oleh sekelompok rumah yang didirikan memanjang mengikuti jalan raya atau jalan kampung. Pada suku bangsa Nias desa disebut bauna yang terletak dipuncak-puncak bukit atau gunung dan terdiri atas beberapa puluh rumah dengan bentuk denah menyerupai huruf U dan di ujung banua terletak rumah kepala negeri atau kepala desa sebagai pusat yang menghadap suatu lapangan. Dikedua sisi lapangan terdapat  dua deret rumah penduduk. Di Nias bagian utara, timur dan barat bentuk denah desa tidak berbantuk U melainkan membentuk dua garis paralel.
Di Ambon desa-desa di bentuk oleh sekelompok rumah yang didirikan sepanjang jalan utama. Rumah-rumah di desa biasanya didirikan amat berdekatan,  tetapi ada pula yang berjauhan satu sama lain dan dipisahkan oleh pekarangan-pekarangan. Demikian pula di pantai utara Irian Jaya, pola kampung itu membentuk beberapa deret rumah yang di antaranya terbentang jalan.
Kampung-kampung di Aceh biasanya dibentuk oleh rumah-rumah yang memiliki lahan luas sehingga halaman tersebut terutama di kiri dan kanan serta belakang merupakan kebun. Selain itu ada rumah-rumah yang didirikan berderet dan kadang-kadang bersatu dibatasi oleh dinding penghalang, yaitu rumah-rumah yang dihuni oleh keluarga-keluarga sekerabat. Lain halnya pola kampung di Kalimantan Tengah, kampung biasanya hanya terdiri dari satu buah rumah panjang yang dihuni oleh beberapa keluarga. Rumah demikian didirikan atas pekarangan yang luas di tepi jalan atau tepi sungai.
2.      Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan di Indonesia dalm arti kepemimpinan  formal dalm pemerintahan dari tingkat propinsi sampai dengan kecamatan adalah sama. Namun, kepemimpinan pada tingkat desa atau kampung dalam konteks kebudayaan suku bangsa atau daerah cukup beragam. Keragaman tersebut antara lain seperti dideskripsikan dalam uraian berikut.
Dalam masyarakat suku bangsa Batak huta (desa) merupakan masyarakat hukum yang dipimpin oleh seorang kepala huta yang disebut penghulu. Penghulu dipilih dari marga namora-mora diambil dan keturunan orang yang pertama-tama mendirikan huta. Dalam melaksanakan tugasnya penghulu dibantu oleh dua orang pembantu, yaitu senina yang diambil dan marga namora-mora dan anak beru yang diambil dari marga bayo-bayo atau kerabat pendatang. Di samping itu, masih ada semacam dewan yang terdiri dari orang tua-tua yang disebut pertua atau natoras-toras..
Dalam suku bangsa Makasar masyarakat hukum teritorial adalah wanua di bawah seorang pimpinan seorang karaeng n dibantu oleh seorang semacam patih yang disebut sulewatang. Adapun dalam suku bangsa Aceh masyarakat hukum terkecil disebut gampong. Pemerintahan barada ditangan seorang keuchi kedudukannya dapat diwariskan kepada keturunannya. Dalam menjalankan pemerintahanya keuchi dibantu atau kerjasama dengan teungkuyang merupakan pimpinan agama dan orang tua-tua sebagai wakil dari penduduk. Keuchi dianggap sebagai bapak dari gampong, sedangkan teungku disebut ibu dari gampong. Teungku disebut juga teungku meunasah. Orang tua-tua biasanya diambil dan keturunan kerabat yang tertua, sudah berusia dan dipandang mempunyai pengetahuan luas tentang adat istiadat. Semua persoalan dibicarakan oleh keuchi, teungku, dan orang tua-tua. Di Kepulauan Sawu, Sumba, dan Alor suku bangsa merupakan masyarakat hukum yang tertinggi. Pimpinan ada ditangan dua orang kepala suku yang disebut duaemaramba. Disamping itu, ada yang disebut duaekepu, deorai, atau mangun tanah yang mempunyai kekuasan terhadap tanah. Tentu masih ada sistem sosial lainnya, seperti pada suku Minangkabau, pada suku Jawa.
Pelapisan sosial. Struktur masyarakat pada masa lalu (zaman kerajaan) adalah pertama, golongan orang pada puncak kekuasaan kerajaan, dibentuk oleh sistem kekerabatan yang memiliki suatu kekuasaan yang bersifat supernatural (dianggap suci, mempunyai kekuasaan dan kedaulatan yang diterima tanpa bantahan oleh masyarakat). Kedua, kelompok manusia di sekeliling atau di bawah golongan pertama yang mengabdi untuk kejayaan kelompok pertama dengan penuh kesetiaan. Ini dibentuk melalui kekerabatan atau jasa yang luar biasa terhadap kelompok pertama. Ketiga, kelompok  lapisan masyarakat biasa.
Kerajaan-kerajaan itu memang sekarang tidak ada lagi, tetapi pola dasar pelapisan sosial  seperti itu pada beberapa suku bangsa di Indonesia masih tampak berlaku. Pada suku bangsa Bugis masih dikenal adanya golongan Andi, Tau Deceng, Tau Sama; pada suku bangsa Makasar dikenal golongan Karaeng, Daeng, dan golongan Rakyat Biasa; di Bali dan sebagainya. Pada dasarnya urutan sebutan-sebutan untuk setiap golongan masyarakat tersebut menunjukkan hirarki pelapisan status sosial dari mulai yang tertinggi sampai yang terbawah. Struktur sosial yang demikian ini juga menunjukkan perbedaan keadaan ekonomi dari mulai golongan kaya sampai dengan yang miskin. Dewasa ini pelapisan sosial kriterianya juga ditentukan oleh tingkat pendidikan, penghasilan.

3.      Sistem Kekerabatan
Kekerabatan adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan identitas para kerabat berkenaan dengan penggolongan kedudukan mereka dalam hubungan kekerabatan masing-masing dengan ego. Seseorang dianggap sebagai oleh seseorang yang lainnya karena seseorang tersebut diakui sebagai seketurunan atau mempunyai hubungan darah dengan ego. Pengakuan tersebut tidak dibatasi oleh ruang (misalnya karena tempat tinggal seseorang itu berjauhan dengan tempat tinggal ego) atau karena seseorang itu belum pernah berjumpa dengan ego, orang tersebut tetap diakui sebagai kerabat oleh ego.
Terdapat keragaman cara menarik garis keturuna dalam masyarakat Indonesia, antar lain (a) Matrilineal, (b) Patrilineal, (c) Dobel Unilateral atau matri-patrilineal dan (d) Parental atau Bilateral. Menarikgaris keturunan dengan car matrilineal antara lain dianut oleh suku bangsa Minangkabau dan Enggano. Menarik garis keturunan dengan cara patrilineal dianut oleh suku bangsa didaerah pegunungan Aceh, Buru, Seram, Ambon, Kepulauan Kei, Aru, dan suku bangsa Batak.menarik garis keturunan dengan cara Dobel Unilateral atau matri-patrilineal dianut oleh suku bangsa Rejang dan sebagian suku bangsa Sumba. Sedangkan menarik garis keturunan dengan cara bilateral atau parental dianut oleh suku bangsa Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa, Sunda, Madura, Sulawesi, Riau, Bangka-Belitung.

4.      Sistem Mata Pencaharian Hidup
Masyarakat (bangsa) Indonesia mempunyai keragaman juga dalam sistem mata pencaharian hoidupnya. Memang negara kita terkenal sebagai negara agraris, tetapi dalam bercocok tanam terdapat berbagai cara yang dilakukan kelompok-kelompok masyarakat sesuai dengan kondisi lingkungan fisik dan budayanya, seperti berladang, bertegalan, dan bersawah. Berladang antara lain banyak dilakukan didaerah luar pulau Jawa. Anda mungkin masih ingat dengan istilah perladangan bakaran. Biasanya mata pencaharian seperti ini dilakukan oleh masyarakat suatu daerah yang penduduknya relatif sedikit, tetapi daerah hutanya cukup luas. Mereka membakar hutan dan menanaminya. Setelah panen tanah itu ditinggalkan, selanjutnya mereka berpindah tempat dan membuka hutan baru, dan seterusnya. Dipulau Jawa berladang dilakukan oleh suku Baduy (di provinsi Banten), ladang mereka disebut huma. Huma pantang (tabu) diberi pupuk dan ditanami tanaman-tanaman keras, selain itu mereka pantang mengolah huma dengan menggunakan cangkul. Mata pencaharian bertegalan selain dilakukan di daerah-daerah di luar pulau Jawa juga dilakukan di pulau Jawa. Bedanya berladang dengan bertegalan, yaitu kalau bertegalan tanah diolah sebaik-baiknya secara terus menerus, diberi pupuk, dan sebagainya. Bersawah anatara lain dilakukan oleh masyarakat Bali, pengairannya diadkan secara bersama-sama oleh penduduk oleh dengan membentuk badang yang disebut subak. Selain di Bali bersawah juga dilakukan oleh masyarakat Pulau Jawa. Petani dalam hal ini diklasifikasikan menjadi petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.
Selain dari hidup bertani, diantara masyarakat Indonesia juga ada yang bermata pencaharian melalui bertenak, sebagai nelayan, perikanan darat, perikanan tambak, dan berdagang. Ada pula yang mengusahakan kerajinan dan pertenunan. Kerajinan kulit, misalnya dilakukan oleh masyarakat di Yogyakarta, Garut. Kerajinan ukiran seperti di Bali, Jepara; anyaman tikar dan bambu di Tasikmalaya, kerajinan keramik di Plered (Jawa Barat), kerajinan pandai besi yang dilakukan berbagai suku bangsa di berbagai daerah baik di Jawa maupun luar Jawa, demikian juga pertenunan. Di samping itu, mata pencaharian sebagian kecil masyarakat Indonesia juga sebagai pegawai atau buruh pabrik.

5.      Bahasa dan Kesenian
Sebagaimana termaktub di dalam Sumpah Pemuda (1928), bangsa Indinesia memang mempunyai satu bahasa persatuan-kesatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Nmun demikia, hamper setiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa ibu atau bahasa daerahnya masing-masing. Contohnya bkita mengenal bahasa Sunda(basa Sunda), bahasa Batak, bahasa Melayu, bahasa Padang, bahasa Bugis.
Kesenian pun demikian beragamnya di Indonesia. Hal ini baik berkenaan dengan music, nyanyian, tarian, kerajinan tangan, yang menjadi ciri khas setiap suku bangsa atau daerah masing-masing. Contohnya, anda mengenal seni pahat atau seni ukir Jepara, Bali, Irian Jaya. Wayang kulit dari Jawa, wayang golek dari Sunda atau Jawa Barat; batik Pekalongan (Jawa Tengah), Batik Garutan, Tasikmalaya (Jawa Barat), BATIK Besurek (Bengkulu), dan sebagainya. Tari Betawi, tari Sunda, tari Bali, dan sebagainya, tenun sarung Samarinda, Bugis, Lombok, Majalaya, tenunan Ulos dari Batak, dan sebagainya. Selain itu anda juga mengenal mandau senjata khas suku bangsa Dayak, badik (Bugis Makasar), keris (suku bangsa Jawa, Bali, Minangkabau), kujang (suku bangsa Sunda), sumpit, panah, tombak (Papua). Demikianlah bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa maupun keseniannya.

6.      Sistem Agama/Kepercayaan
Kemajemukan dalam masyarakat Indonesia juga berkenaan dengan agama atau kepercayaan yang dianut. Di ntara warga masyarakat Indonesia ada yang menganut agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu Bali, Budha, Kong Hu Cu. Namun demikian, dalam praktik kehidupan sehari-hari tampak unsur-unsur kepercayaan yang berada di luar agama-agama tersebut diatas. Berkenaan dengan ini Agraha Suhandi (1985) mengemukakan bahwa hampir pada setiap suku bangsa dikenali adanya mite atau mitologi, yaitu kepercayaan tentang kejadian dari sesuatu, misalnya tentang alam semesta, manusia, tentang mengapa matahari selalu terbit dari timur, tentang kejadian padi, dan kejadian tentang tempat-tempat tertentu. Dari mite tersebut dapat diketahui kepercayaan dari suku-suku bangsa tersebut bahwa segala sesuatu itu tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi ada yang menyebabkannya atau menciptakannya.
Pada suku bangsa Nias dikenal mitologi tentang terjadinya alam semesta yang diciptakan oleh Lowalangi. Pada suku bangsa Batak bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Debata Mulajadi na Balon yang berdiam di langit. Kepercayaan suku bangsa Batak juga tercermin dalm kain tenun ulos. Di dalam setiap ulos selalu dibentuk oleh 3 macam warna yang menunjukkan bahwa dunia ini terbagi menjadi 3 , yaitu dunia bawah, dunia atas, dunia tengah. Sedangkan mitologi yang terdapat pada suku bangsa Floresmengemukakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Mori Karaeng atau Deva sebagai dewa tertinggi. Tentu masih terdapat mitologi megenai terjadinya alam semesta ini yang dipercaya oleh suku-suku bangsa lainnya di Indonesia.
Demikian juga terdapat keragaman mitologi dan legenda mengenai terjadinya tempat-tempat tertentu yang diyakini oleh suku-suku bangsa tertentu. Misalnya, terjadinya gunung Tangkuban Perahu (Sunda), Gunung Batok (Tengger), Danau Toba (Batak), dan sebagainya.
Setiap suku bangsa juga mempercayai akan adanya makhluk-makhluk halus yang menempati alam di sekelilingi tempat tinggal manusia. Makhluk halus tersebut diyakini ada yang baik suka menolong manusia. Untuk menjaga gangguan-gangguan tersebut diadakanlah upacara-upacara, seperti memberi sesajen, mantra, dan upacara lainnya.
Demikianlah pula terdapat kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia tertentu, alam semesta, dan pada kata-kata yang diucapkan, seperti mantra. Kekuatan-Kekuatan gaib atau magis ini (mana dalam bahasa Melanesia atau kire dalam bahasa Mentawai) dapat memancarkan pengaruh baik maupun jelek bagi manusia. Berkaitan dengan ini untuk keselamatan manusia, mereka juga melakukan upacara-upacara tertentu, ada pantangan-pantangan (tabu) tertentu, ada mantra, dan sebagainya, demikian beberapa keragaman berkenaan dengan sistem agama atau kepercayaan di dalam masyarakat Indonesia. Anda tentunya masih dapat mempelajari atau mendeskripsikan yang lainnya.

2.4      Implikasi Karakteristik Manusia Indonesia Terhadap Pendidikan 

2.4.1        Implikasi Terhadap Dasar dan Akar Pendidikan
Pancasila dan UUD 1945 tergolong kedalam wujud ideal kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indoonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai dasar Negara Indonesia. Implikasinya maka pancasila dan UUD 1945 berkedudukan sebagai dasar pendidikan nasional.
Profil karakteristik masyarakat (bangsa) Indonesia antara lain adalah beragama, yaitu berke_Tuhan-an Y.M.E. dan memiliki kebudayaan nasional. Karena itu, pendidikan ahrus dikembangkan dengan berakar kepada nilai-nilai agama dan kebudaayaan bangsa tersebut. Jika tidak demikian maka pendidikan tidak akan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh. Demikian pula jika pendidikan dilaksaknakan dengan berakar pada kebudayaan bangsa lain, tentu akan menimbulkan kesenjangan social-budaya. Bahkan mungkin identitas bangsa tersebut akan habis dan muncel masyarakat baru yang terputus dari dimensi kesejarahan kebudayaan bangsanya. Implikasinya maka pendidikan nasional hendaknya berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional.
2.4.2        Implikasi Terhadap Pengelolaan Pendidikan

Pengelolaan pendidikan bersifat dekonstrasi. Mengingat betapa luasnya wilayah Negara Republik Indonesia serta aneka ragamnya keadaan lingkungan fisik dengan segala kekayaan yang dikandungnya, dan majemuknya keadaan social-budaya di Indonesia maka perlu diambil suatu kebijakan dalam pengelolaan pendidikan agar efisian dan efektif. Implikasinya maka kebijakan pengelolaan pendidikan dalam system pendidikan nasional kita bersifat dekonsentrasi seperti tercermin dalam pasl 50 UU RI No. 20 Tahun 2003.
Dalam hal ini, pengelolaan system pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri (Menteri Pendidikan Nasional). Pemerintah pusat menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan local. Sedangkan perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalalm mengelola pendidikan di lembaganya. Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian pergururan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Pengelolaan satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Adapun yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Pengelolaan satuan pendidikan non formal dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hokum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada pesesta diidik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan setuan pendidikan.

2.4.3        Kurikulum Pendidikan
Kurikulum berbasis kompetisi. Seperti telah anda pahami melalui kegiatan belajar 1 bahwa kebudayaan yang berwujud ideal, wujud system social atau kompleks aktifitas kelakuan berpola, dan wujud fisik berfungsi sebagai dasar dan alat bagi manusia untuk dapat menanggulangi masalah-masalah dalam menghadapi lingkungannya dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Keragaman dan kekayaan lingkungan fisik yang dimiliki masyarakat (bangsa) Indonesia akan kurang dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran apabila masyarakat tersebut kurang berdaya untuk dapat mengelola dan memanfaatkannya. Kesalahan dalam mengelola dan memanfaatkan keragaman dan kekayaan lingkungan fisik yang ada justru akan menimbulkan malapetaka. Oleh sebab itu, pendidikan hendaknya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan demikian hendaknya pendidikan diselenggarakan sebagai pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik. Implikasinya maka kurikulum pendidikan hendaknya merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi. Maksudnya kurikulum itu hendaknya mengembangkan seluruh kemampuan atau kecakapan hidup berbudaya dalam pengertian luas yang meliputi berbagai elemen dari ketiga wujud kebudayaan secara terintregrasi.
Kurikulum nasional dan kurikulum muatan local. Ragamnya lingkungan fisik yang dihuni masyarakat Indonesia, serta ragamnya keadaan social budaya menghadapkan suatau tantangan bagi masyarakat (bangsa Indonesia). Tantangan yang dimaksud antara lain berkenaan dengan :
1.      Pelestarian intregasi bangsa yang bersifat majemuk agar tetap bineka tunggal ika
2.      Terbinanya kepribadian bangsa, yaitu kepribadian bangsa Indonesia
3.      Standart nasional mutu pendidikan
4.      Relefansi pendidikan secara nasional
5.      Relefansi pendidikan secara lokal sesuai dengan keadaan lingkungan dan social budaya daerah atau suku bangsa yang bersangkutan.
Dalam hal ini, perlu di catat bahwa integrasi adalah keserasian satuan-satuan yang terdapat dalam suatu sistem (bukan penyeragaman tetapi hubungan satuan-satuan sedemikian rupa dan tidak merugikan masing-masing satuan). bahwa kepribadian bangsa Indonesia bukan kepribadian keseluruhan tetapi juga mencerminkan cirri-ciri suku bangsa, keagamaan dan lain-lain (A.W. Wijaya 1986).
Implikasi dari semua hal di atas maka perlu di ambil kebijakan untuk tersedianya : pertama, kurikulum nasional yang memungkinkan tetap lestarinya keadaan masyarakat yang bineka tunggal ika,terbinanya kepribadian bangsa, terjaminnya standar nasional mutu pendidikan, dan relevansi pendidikan secara nasional. Kurikulum pendidikan nasional ini baik berkenaan dengan jenis pendidikan umum, pendidikan akademik, dan jenis pendidikan lainnya. Kedua, kurikulum muatan lokal yang memungkinkan terjaminnya relevansi pendidikan secara lokal, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya.
2.4.4        Wajib Belajar
Pada tanggal 2 mei 1984 pemerintah telah mencanankan gerakan wajib belajar sekolah dasar 6 Tahun. Tanggal 8 mei 1990 pemerintah menetapkan perintisan wajib belajar SUP, dan pada tanggal 2 mei 1994 Presiden RI telah mencanankan gerakan wajib beljar pendidikan dasar. Wajib belajar pendidikan dasar adalah suatu gerakan pendidikan nasional yang diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga Negara Indonesia yang berusia 7-15 Tahun untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Jadi wajib belajar ini lamanya 9 tahun, diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan tiap tahun di SLTP atau sederajat.
Ditinjau dari sudut antropologi, yaitu berkenaan dengan karakteristik social budaya Indonesia terdapat beberapa hal yang turut berimplikasi terhadap kebijakan dan penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar ini, diantaranya pertama salah satu tujuan Negara republic Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, nilai dan norma yang mengakui kesamaan hak setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana termaktub pada pasal 31 UUD 194. Ketiga, keragaman lingkungan fisik masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di pedesaan terpencil dan terisolasi. Keempat, pelapisan social ekonomi (yaitu tinggi, menengah, dan rendah atau miskin) dimana dalam masyarakat Indonesia masih cukup jumlah masyarakat miskin. Kelima, asumsi mengenai fungsi pendidikan demi pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keenam, asumsi mengenai fungsi kebudayaan sebagai dasar dan alat bagi manusia untuk dapat menangani permasalahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keadaan tersebut di atas memberikan implikasi terhadap kebijakan dan penyelenggaraan wajib belajar antara lain berkenaan dengan berikut ini :
1.      Adanya kebijakan mengenai peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar dengantarget utama daerah dan masyarakat miskin dan terisolasi.
2.      Adanya kebijakan tentang keragaman satuan pendidikan penyelenggara wajib belajar pendidikan dasar berupa : SD biasa, SD kecil, SD pamong, SD luar biasa, Sekolah luar biasa, SD terpadu, Program kejar paket A, Ujian persamaan SD Madrasah Ibtida’iyah, dan Pondok Pesantren, SLTP biasa, SLTP kecil, SLTP terbuka, SLTP LB, SLB, SLTP Terpadu, Program kejar paket B, Ujian persamaan SUP, MTS, MTS terbuka dan Pondok pesantren.

2.4.5        Gerakan Nasional Orang Tua Asuh
Pelaksanaan pendidikan memerlukan dana atau biaya yang memadai. Anda telah memahami bahwa dalam system social masyarakat Indonesia terdapat pelapisan social ekonomi. Secara umum dan kasar dapat di deskripsikan pelapisan social ekonomi tersebut terdiri atas :
a.       Lapisan masyarakat kaya
b.      Lapisan masyarakat menengah
c.       Kapisan masyarakat miskin.
Khususnya bagi masyarakat miskin untuk dapat membiyayai ank-anaknya agar dapat menyelesaikan pendidikan pada sekolah dasar saja sudah sulit, atau bahkan tidak mampu, apalagi untuk menyelesaikan wajib belajar 9 tahun dan selanjutnya. Di pihak lain pemerintahpun memiliki keterbatasan anggaran pendidikan. Sementara mereka mendapatkan jaminana hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan mendapatkan kewajiban belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Implikasi dari kenyataan di atas perlu ada kebijakan untuk melaksanakan peranan sebagai orang tua asuh oleh masyarakat yang berstatus social ekonomi tinggi atau kaya dan mungkn juga lapisan menengah sangatlah mulia, sehingga dengan demikian diharapkan kesulitan untuk menanggung beban biyaya pendidikan bagi masyarakat miskin dapat teratasi, dan anak-anak mereka diharapkan menuntaskan wajib belajar 9 tahun, atau juga sampai kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sejalan dengan hal di atas, pemerintah melalui keputusan Mentri social RI No 52/HOK/1996 Telah mengambil keputusan tentang pembentukan lembaga gerakan nasional. Gerakan nasional orang tua asuh GNOTA dan dikeluarkan pula intruksi mentri dalam negeri no 8 tahun 1997 tentang pembentukan lembaga gerakan nasional orang tua asuh.

2.4.6        Implikasi Karakteristik Kebudayaan Terhadap Praktek Pendidikan
Anda telah memahami bahwa kebudayaan antara lain memiliki karakteristik ideal dan aktual, serta stabil dan beruba. Karekteristik kebudayaan ini tentunya berlaku jiga dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Karakteristik kebudayaan ini mengandung potensi untuk memunculkan masalah dalam praktek pendidikan. Tentu saja dengan syarat apabila tidak ada kesejalanan antara kebudayaan aktual dengan kebudayaan idealnya. Demikian pula mungkin terjadi konflik antara kebudayaan baru dengan kebudayaan yang di anggap sudah stabil atau mapan.
Kebudayaan ideal versus kebudayaan aktual. Kita memiliki nilai budaya yang ideal contoh korupsi adalah perbuatan jahat, tetapi secara aktual korupsi terjadi di banyak tempat. Keadaan seperti ini tentunya menimbulkan konflik pada individu tertentu muncullah nilai baru yang tersirat dalam kalimat “kalau tidak ikut gak kebagian” atau “daripada dimakan oleh atasan mendingan dibagi-bagi untuk kita: dalam praktek pendidikan kadang terjadi pula ketidak sejalannan antara nilai ideal dengan nilai aktual, missal para guru yakin bahwa adil itu baik. Akan tetapi dalam praktek pendidikannya terkadang ada guru berbuat tidal adik, kalau siswa dating ke kelas terlambat, siswa yang bersangkutan diberi hukuman. Sebaliknya jika guru datang terlambat siswa harus menunggu, keadaan ini tentu menimbulkan konflik pada diri siswa, oleh sebab itu sesungguhnya guru harus menjadi teladan. Artinya hmesti terdapat kesejalanan antara kebudayaan ideal dan kebudayaan aktual..
Stabil versus perubahan. Melalui pendidikan, masyarakat berupaya melestarikan kebudayaannya yang dipandangnya sudah mapan. Akan tetapiapabila pendidikan hanya berfungsi melestarikan nilai-nilai lama saja maka peserta didik menjadi tidak kreatif untuk mengadakan perubahan atau pembaharuan. Kebudayaan akan statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman sebab itu pendidikan juga harus bersifat inovatif dan kreatif dengan demikian peserta didik akan kreatif, memiliki motifasi untuk melakukan perubahan dalam kebudayaan. Berkenaan dengan nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat baik yang lama maupun yang baru, peserta didik mempunyai kesempatan untuk melakukan evaluasi titik permasalanya apabila diberi kebebasan seperti itu, biyasanya peserta didik melakukan perubahan jauh lebuh dalam dan lebih luas lagi. Mungkin mereka melakukan organisasi, difusi atau reinterpretasi. Keadaan seperti ini mungkin akan menimbulkan konflik diantara mereka yang mempertahankan nilai-nilai lama yang di anggapnya sudah mapan dengan mereka yang ingin melakukan perubahan. Apakah pendidikan harus selalu mengikuti perkembangan zaman dengan nilai-nilai yang telah berubah atau tetap melestarikan nilai-nilai lama?
Dalam konteks uraian di atas pendidikan berada di simpang jalan, tentu saja pendidik harus menentukan pilihan arah dan melanjutkan perjalanan, dua arah jalan di atas saling berlawanan ibarat buah simalakama. Sehubungan dengan itu agar pendidik tepat memilih arah ia harus kembali kepada nilai-nilai yang menjadi dasar pendidikannya. Pancasila dan UUD 45 adalah dasar pendidikan kita, implikasinya kita memang perlu melestarikan kebudayaan lama yang di anggap mapan, sebaliknya juga tidak menolak perubahan. Akan tetapi dalam melakukan perubahan atau dalam mengikuti perkembangan zaman tersebut pendidik harus melakukan efaluasi apakah perubahan yang akan dilakukan dalam rangka mengikuti perkembangan zaman itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar tersebut? Oleh karena pancasila dan UUD 45 berstatus sebagai dasar pendidikan nasional maka pancasila dan UUD hendaknya di jadikan acuan dan arah dalam rangka melakukan fungsi perubahan (kreasi atau inovasi dalam pendidikan). Prinsip perubahan dalam pendidikan bukanlah mengikuti perkembangan zamakn atau kebudayaan yang sedang berubah, melainkan melakukan perubahan dengan mengacu kepada nilai-nilai dasar tertentu dan mengendalikannya kea rah tujuan tertentu pula.





























BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Dalam arti sempit kebudayaan ditafsirkan orang sama dengan kesenian, sedangkan dalam arti luas kebudayaan meliputi hampir seluruh kehidupan manusia. Manusia menciptakan kebudayaan dan karena kebudayaannya manusia hidup berbudaya. Kebudayaan mempengaruhi (membangun) kepribadian seseorang. Kebudayaan mempengaruhi atau membangun kepribadian melalui enkulturasi atau pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu pranata kebudayaan, pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Terdapat  hubungan komplementer antara kebudayaan dan pendidikan. Kebudayaan menjadi input bagi pendidikan, sebaliknya pendidikan memiliki fungsi konservasi dan inovasi bagi kebudayaan.
Manusia atau masyarakat Indonesia bersifat majemuk, tetapi mereka tetap satu, yaitu bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia meliputi karakteristik fisiknya,lingkungan fisiknya, dan social budayanya. Lingkungan fisik kepulauan nusantara di mana massyarakat (bangsa) Indonesia tinggal juga bersifat majemuk.
Pancasila dan UUD 1945 tergolong wujud ideal kebudayaan nasional. Pancasila berfungsi sebagai falsafah hidup bangsa, serta jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Adapun wujid ideal dari kebudayaan berfungsi sebagai dasar dan alat bagi manusia, untuk dapat mengatasi berbagai masalah dalam menghadapi lingkungannya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan bagi kelangsungan hidupnya implikasinya bahwa pancasila dan UUD menjadi dasar bagi pendidikan nasional. Sebagai slah satu pranata kebudayaannya.
Profil karakteristik fisik, lingkungan fisik dan kemajemukan social budaya Indonesia antara lain berimplikasi terhadap sifat pengelolaan pendidikan, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, gerakan nasional orang tua asuh, dan kurikulum pendidikan. Adapun karakteristik kebudayaan akan berimplikasi bagi praktek pendidikan khususnya terhadap pendidik dalam rangka melaksanakan perannya dalam konteks konserfasi dan melakukan perubahan kebudayaan. Selain itu juga terhadap peranana pendidik dalam rangka menyelaraskan antara kebudayaan aktual dengan kebudayaan ideal.












Daftar Pustaka
 Wahyudin,dinn,dkk.Pengantar Pendidikan.Jakarta:Universitas Terbuka,2011.
 Tarwotjo.Pengantar Antropologi Pendidikan Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka,1985.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar