BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia menciptakan kebudayaan karena kebudayaannya manusia hidup
berbudaya. Kebudayaan mempengaruhi atau membangun kepribadian seseorang atau
suatu bangsa melalui cara-cara pendidikan. Sebab itu, pendidikan pada dasarnya
merupakan upaya kebudayaan dengan maksud mempertinggi kualitas hidup berbudaya.
Kebudayaan dapat digolongkan menjadi kebudayaan suku bangsa, kebudayaan umum
lokal, dan kebudayaan bangsa (nasional). Masyarakat dan bangsa Indonesia
bersifat majemuk. Kemajemukan sosial budaya pada suku-suku bangsa di Indonesia
di satu pihak merupakan kebanggaan, tetapi di pihak lain juga dapat menimbulkan
kesulitan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang merata dan menyeluruh,
khususnya di bidang pendidikan. Sehubungan dengan itu, para pendidik perlu mempelajari
antropologi pendidikan.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa yang
dimaksud tentang konsep kebudayaan?
1.2.2
Bagaimana
hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian?
1.2.3
Bagaimana
hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan?
1.2.4
Bagaimana
profil karakteristik fisik manusia Indonesia?
1.2.5
Bagaimana profil
karakteristik lingkungan fisik manusia Indonesia?
1.2.6
Bagaimana
profil kemajemukan sosial-budaya Indonesia?
1.2.7
Bagaimana
implikasi profil karakteristik sosial budaya Indonesia terhadap penyelenggaraan
pendidikan?
1.3
Tujuan
1.3.1
Mampu menjelaskan
tentang konsep kebudayaan.
1.3.2
Mampu
menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian.
1.3.3
Mampu
menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan.
1.3.4
Mampu
menjelaskan profil karakteristik fisik manusia Indonesia.
1.3.5
Mampu
menjelaskan profil karakteristik lingkungan fisik manusia Indonesia.
1.3.6
Mampu
menjelaskan profil kemajemukan sosial-budaya Indonesia.
1.3.7
Mampu
menjelaskan implikasi profil karakteristik sosial budaya Indonesia terhadap
penyelenggaraan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Antropologi
Antropologi dapat
dirumuskan secara umum sebagai salah satu ilmu yang berusaha mempelajari
manusia dari bentuk biologis, masyarakat dan kebudayaannya. Ada beberapa
subdisiplin dalam hal ini, seperti :
- Paleo antropologi, mengenai berbagai evolusi biologisnya.
- Antropologi biologis, mengenai berbagai ciri fisiknya.
- Antropologi prehistoris, mengenai perkembangan berbagai kebudayaannya.
- Etnolinguistik, mengenai perkembangan berbagai bahasanya.
- Etnologi, mengenai berbagai asas masyarakat dan kebudayaan suku bangsa.
Pendidikan
sebagai ilmu normatif, banyak berpikir “secara deduktif”, misalnya inovasi apa
yang perlu diterapkan, melalui saluran komunikasi mana akan dipakai dalam hal
ini, berapa waktu diperlukan dan sistem sosial mana yang menjadi sasaran. Jadi,
dalam hal ini manajemennya banyak menggunakan pola manajemen berdasarkan
sasaran secara umum.
Sedangkan
antropologi sebagai ilmu deskriptif, banyak berpikir “secara induktif”,
misalnya dalam hal ini perhatian dipusatkan pada sistem sosial yang menjadi
sasaran dahulu, sehingga “the inside view” tampak jelas, baru akan tampak
antara lain tentang waktu, tentang saluran dan tentang inovasi yang datangnya
dari luar itu, dapat bertemu secara serasi, selaras dan seimbang dengan kemauan
dan kemampuan dari dalam tadi. Jadi dalam hal ini, manajemennya banyak
menggunakan pola manajemen berdasarkan kasus yang bersangkutan.
Jadi, apakah
ilmu antropologi pendidikan Indonesia itu? Ia adalah ilmu antropologi terapan,
yang saat ini sebaiknya digunakan untuk meningkatkan relevansi pendidikan
dasar, khususnya di daerah pedalaman/terpencil/sulit dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Antropologi
pendidikan Indonesia, di negara kepulauan dan negara berkembang ini, diperlukan
karena ia dibutuhkan. Dan kebutuhan ini adalah salah satu tantangan dalam
rangka peningkatan ketahanan nasional kita.
2.2
Kebudayaan,
Kepribadian, dan Pendidikan
2.2.1 Konsep Kebudayaan
1.
Definisi
Kebudayaan
Dalam arti
sempit kebudayaan adalah kesenian, yaitu pikiran, karya, dan hasil karya
manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Adapun dalam arti luas
kebudayaan adalah seluruh total dari
pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya
karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manuia sesudah suatu proses belajar
(Koentjaraningrat, 1984). Dengan kata lain kebudayaan itu adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,
1985).
2.
Unsur –unsur
Universal Kebudayaan
Kebudayan
mengandung pengertian yang amat luas meliputi hampir seluruh aktivitas
kehidupan manusia karenanya demi keperluan analisis konsep tentang kebudayaan
maka kebudayaan tersebut perlu dipecah lagi ke dalam unsur – unsurnya. Menurut
Koentjaraningrat (1984) terdapat 7 unsur universal kebudayaan, yaitu sebagai
berikut :
a.
Sistem religi
dan upacara keagamaan.
b.
Sistem
organisasi kemasyarakatan.
c.
Sistem
pengetahuan.
d.
Bahasa.
e.
Kesenian.
f.
Sistem mata pencaharian.
g.
Sistem
teknologi dan peralatan.
Tata
urutan unsur – unsur universal kebudayan di atas menggambarkan kontinum dari
unsur – unsur yang paling sukar berubah ke unsur – unsur yang paling sukar
berubah ke unsur – unsur yang paling mudah berubah.
3.
Wujud
Kebudayaan
Kebudayaan memiliki tiga wujud,
yaitu sebagai berikut :
a.
Wujud Ideal,
yaitu wujud kebudayan sebagai suatu kompeks dari ide-ide, gagasan, nilai –
nilai, norma –norma, peraturan.
b.
Wujud sistem
sosial, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompeks aktifitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
c.
Wujud fisik,
yaitu wujud kebudayan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud
ini dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisahkan antara satu dan
lainnya. Kebudayaan ideal memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik
pikiran – pikiran dan ide – ide maupun perbuatan dan karya manusia menghasilkan
benda – benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik itu membentuk
suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan
juga mempengaruhi cara berpikirnya.
4.
Sifat atau
Karakteristik Kebudayaan
Kebudayaan memiliki karakteristik
sebagai berikut :
a.
Organik dan
Super Organik. Kebudayaan bersifat organik sebab kebudayaan berakar pada organ
manusia, tanpa manusia berbuat, berfikir, merasa, dan membuat benda – benda
maka tidak akan ada kebudayaan. Kebudayaan super organik karena kebudayan hidup
terus melampaui generasi tertentu dan karena isinya lebih merupakan hasil karya
manusia daripada hasil unsur biologis.
b.
Overt
(terlihat) dan covert (tersembunyi). Kebudayan terlihat (overt) dalam bentuk
tindakan – tindakan dan benda –benda, seperti rumah, pakaian, bentuk
pembicaraan yang dapat diamati secara langsung sedangkan tersembunyi (covert), yakni dalam
aspek sikap dasar terhadap alam fisik dan alam ghaib yang mesti
diinterprestasikan pengertiannya dari apa yang dikatakan dan dilakukan
anggota-anggotanya.
c.
Ideal dan
Aktual (Manifes). Kebudayaan ideal terdiri atas cara berbuat yang mereka yakini
harus dilakukan atau bagaimana seharusnya mereka berbuat/berkelakuan sesuai
dengan kepercayaannya (normatif), sedangkan bersifat aktual (manifes) maksudnya
kebudayaan itu merupakan tindakan – tindakan yang nyata. Di dalam suatu masyarakat
mungkin terjadi perbedaan (ketidaksesuaian) antara yang aktual dengan yang
ideal. Mungkin kekejujuran dan keadilan lebih merupakan budaya ideal daripada
manifes. Kejujuran dan keadilan hanyalah menjadi hiasan bibir berkala.
d.
Stabil dan
berubah. Terdapat hal-hal yang dipertahankan oleh masyarakat agar tetap tidak
berubah (stabil), tetapi terjadi pula perubahan-perubahan kebudayaan di dalam
masyarakat. Para antropolog umumnya menerima ketidaktetapan kebudayaan. (Imran
Manan,1989).
5.
Fungsi
Kebudayaan
Seperti yang
telah diuraikan terdahulu kebudayaan maliputi ide-ide, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan,
norma-norma (wujud ideal), benda-benda atau alat-alat hasil karya manusia
(wujud fisik), dan peraturan mengenai hidup berkelompok (wujud sistem sosial).
Semua ini membentuk suatu dasar atau landasan juga “peralatan” besar yang
menempatkan manusia pada posisi yang lebih baik untuk dapat menanggulangi
realita kehidupan, untuk dapat menangani masalah-masalah dalam menghadapi
lingkungannya dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Ringkasnya
dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan dasar dan alat untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia, yaitu kelangsungan hidup organis, penyesuaian terhadap
lingkungan, dan kelestarian dalam arti biologis. Berkaitan dengan hal diatas
Kerber dan Smith (Imran Manan, 1989) mengemukakan fungsi utama kebudayaan dalam
kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :
a.
Pelanjut
keturunan dan pengasuhan anak.
b.
Pengemban
kehidupan ekonomi.
c.
Transmisi
budaya.
d.
Religi
(keagamaan).
e.
Pengendalian
sosial.
f.
Rekreasi.
2.2.2
Kebudayaan dan
Kepribadian
1.
Kepribadian dan
Kepribadian Bangsa
Kepribadian
adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menetukan perbedaan tingkah laku
atau tindakan dari tiap-tiap individu manusia (Koentjaraningrat, 1983). Adapun
menurut John J. Honnigman kepribadian itu menunjukkan adanyatingkah laku, cara
berpikir, dan perasaan-perasaan yang merupakan karakteristik dari seseorang (Agraha
Suhandi, 1985).
Kepribadian
individu terbentuk di dalam lingkungan hidupnya sepanjang hidup individu yang
bersangkutan. Oleh karena itu, upaya memahami kepribadian tanpa menghubungkan
engan konteks lingkungan hidupnya akan merupakan gambaran mati yang kurang
berarti. Memang sesungguhnya kepribadian itu tampak di dalam tingkah lakunya
yang terperagakan di dalam lingkungan hidupnya.
2.
Manusia
Menciptakan Kebudayaan dan karena Kebudayaannya Berbudaya
Kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Namun, sebaliknya kebudayaan itu
menyusupi kehidupan sadar manusia, bahkan kebudayaan memasuki diri manusia
waktu tidur, yaitu dalam bentuk pola tidur dan dalam isi mimpi sewaktu tidur.
Kebudayaan membentuk manusia secara intelektual, emosional, secara fisik dan
atau tingkah laku manusia. Mengingat hal tersebut dan dengan mengacu kepada
pengertian kepribadian sebagaimana telah dikemukakan di atas maka dapat
dipahami adanya hubungan antara kebudayaan dengan kepribadian, yaitu bahwa
kebudayaan berpengaruh atau membangun
kepribadian seseorang. Bayi yang baru lahir seluruhnya masih tergantung kepada
orang lain, ia belum mengetahui apa-apa, tidak bisa mengendalikan emosinya,
belum sanggup berbagi mengenai apa yang dimilikinya, belum mampu membayangkan
masa depannya, dan sebagainya. Namun demikian, dengan kebudayaan
masyarakatnyapada akhirnya secara bertahap ia menjadi dewasa dengan keinginan-keinginan
dan kebencian yang terkendalikan, berpengetahuan, dan dapat berperan serta dalm
kehidupan masyarakat yang kompleks.
Dilihat dari
kepribadiannya, setiap masyarakat akan menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
a.
Di dalam
masyarakat yang berbeda-beda (majemuk) norma-norma kepribadian itu berlainan.
b.
Anggota
masyarakat mana pun selalu akan menunjukkan perbedaan-perbedaan individual
mengenai kepribadiannya.
c.
Dalam semua masyarakat
itu terdapat hampir semua tipe kepribadian yang sama.
d.
Dalam semua
masyarakat itu terdapat macam perbedaan-perbedaan yang sama.
Adanya
perbedaan kebudayaan pada dua atau lebih kelompok masyarakat akan menyebabkan
perbedaan-perbedaan kepribadian, hal ini disebabkan diperolehnya pengalaman
yang berbeda-beda oleh setiap anggota kelompok masyarakat yang berbeda
kebudayaannya itu melalui hubungannya dengan kebudayaan mereka masing-masing.
Sebaliknya dari
hal di atas, dalam setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa dan kelompok
bangsa dapat dipastikan bahwa anggota-anggota suatu masyarakat, suku bangsa
atau bangsa akan bersama-sama memiliki sejumlah besar unsur-unsur kepribadian
yang sama dan umum. Unsur-unsur kepribadian yang sama dan umum ini bersama-sama
membentuk pola yang cukup terintegerasi yang disebut tipe kepribadian dasar
bagi masyarakat atau bangs itu secara keseluruhan. Tipe kepribadian dasar itu
disebut juga communal personality, basic personality structure atau national
character. Tipe kepribadian inilah yang sering disebut sebagai kepribadian
sesuatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia tipe kepribadian ini antara lain adalah
kehidupan gotong royong, ramah tamah atau juga sering dikatakan bahwa Pancasila
adalah kepribadian bangsa Indonesia (Agraha Suhandi, 1985).
3.
Pendidikan /
Enkulturasi
Kebudayaan
mempengaruhi manusia melalui apa yang disebut dengan enkulturasi atau
internalisasi budaya, yaitu suatu proses di mana seorang individu menyerap cara
berpikir, bertindak, dan merasa yang mencerminkan kebudayaannya.
Enkulturasi
berlangsung di dalam berbagai lingkungan, seperti keluarga, sekolah, dan
pergaulan di dalam masyarakat. Proses enkulturasi juga dapat berlangsung
melalui berbagai media, seperti televisi, radio, film, upacara-upacara.dalam
arti luas, bahwa enkulturasi ini berlangsung dalam kehidupan dan sepanjang
hayat. Jadi, cara berpikir,
perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan seseorang dipengaruhi atau dibangun
melalui pendidikan (enkulturasi). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan mempengaruhi (membangun) kepribadian seseorang melalui proses
enkulturasi atau pendidikan.
2.2.3
Kebudayaan dan
Pendidikan
Pendidikan
tidak pernah berlangsung di dalam suatu ruang hampa, melainkan selalu
berlangsung di dalam suatu ruang masyarakat tertentu, dan untuk suatu tujuan
kehidupan suatu masyarakat tertentu pula. Antara masyarakat dan kebudayaan
merupakan dwi tunggal, secara nyata tak dapat dipisahkan. Sebab itu, akan
terdapat hubungan antara kebudayaan dengan pendidikan.
1.
Pendidikan
sebagai Pranata Pendidikan
Sebelum
membahas hubungan antar kebudayaan
dengan pendidikan, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa pendidikan merupakan
salah satu pranata kebudayaan. Pranata adalah suatu kelakuan berpola dari
manusia dalam kebudayaan (wujud kedua dari kebudayaan), yang mengacu kepada
sistem ide, nilai-nilai, gagasan, norma-norma, peraturan, dan sebagainya (wujud
pertama dari kebudayaan), yang dilakukan dengan menggunakan peralatan (wujud
ketiga dari kebudayaan) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Koentjaraningrat (1984) mengidentifikasi adanya delapan jenis pranata
kebudayaan, salah satu diantaranya pranata pendidikan. Pendidikan merupakan
salah satu pranata dalam kebudayaan manusia karena itulah pendidikan merupakan
bagian dari kebudayaan. Contoh pranata pendidikan ini, antara lain pengasuhan
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pemberantasan buta huruf,
pendidikan keagamaan, pers, perpustakaan umum.
2.
Hubungan
Kebudayaan dan Pendidikan
Antara
kebudayaan dengan pendidikan terdapat hubungan komplementer. Pertama,
kebudayaan berperan sebagai masukan (input) bagi pendidikan. Contohnya, tujuan
pendidikan ditentukan oleh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat (wujud
pertama kebudayaan) kurikulum dan metode pendidikan, antara lain akan
ditentukan oleh nilai-nilai, norma-norma, dan gagasan-gagasan masyarakat (wujud
pertama kebudayaan), serta ditentukan pula oleh wujud kebudayaan sebagai suatu
kelakuan berpola dari suatu masyarakat (wujud kedua kebudayaan) adapun wujud
ketiga dari kebudayaan (wujud fisik berupa bangunan, OHP) akan menjadi alat
bantu dalam rangka praktik pendidikan. Kedua, pendidikan berfungsi untuk melestarikan
kebudayaan masyarakat (fungsi konservasi) dan juga berfungsi dalam rangka
melakukan pengembangan dan atau perubahan kebudayaan masyarakat ke arah yang
lebih baik (fungsi kreasi atau inovasi).
Fungsi
konservasi atau pelestarian kebudayaan merupakan fungsi pendidikan dalam rangka
pewarisan kebudayaan. Hal yang harus diwariskan kepada generasi muda tentunya
adalah kebudayaan ideal (misalnya nilai kejujuran, keadilan, pola perilaku yang
baik, dan sebagainya) sehingga kebudayaan ideal milik masyarakat menjadi
lestari. Namun demikian, pendidikan tidak cukup melaksanakan fungsi konservasi
saja,sebaliknya pendidikan juga harus melaksanakan fungsi inovasi atau kreasi.
Apabila pendidikan hanya merupakan transmisi kebudayaan saja maka perkembangan
kebudayaan akan terhambat, masyarakat hanya akan bersifat pasif karena hanya
menerima saja apa yang diwariskan para orang tua atau pendidiknya sehingga
generasi muda akan terhambat. Fungsi kreasi atau inovasi dari pendidikan
merupakan fungsi untuk diciptakannya kebudayaan baru yang lebih baik, sesuai
dengan tuntutan kehidupan, dan perkembangan zaman.
3.
Pendidikan
Stabilitas dan Perubahan Kebudayaan
Pendidikan / enkulturasi yang diterima anak
selama masa kanak-kanak dan masa mudanya bersifat menstabilkan kebudayaan,
sebab enkulturasi mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sosial yang diterima
menjadi kepribadian yang makin meningkat/matang. Sedangkan di kala dewasa
enkulturasi sering mendorong terjadinya perubahan baik bagi dirinya maupun
kebudayaan. Berkenan dengan ini Herkovits (Imran Manan, 1985) menunjukkan :
Perbedaan
antara sifat pengalaman enkulturasi pada awal-awal kehidupan dengan yang
belakangan adalah bahwa rentangan penerimaan atau penolakan yang sadar oleh
individu terus menerus bertambah tua. Ketika ia mencapai kematangan, seorang
laki-laki atau wanita sudah menjadi terkondisi hingga ia bisa bergerak dengan
mudah dalam batas-batas perilaku yang diuji oleh kelompoknya. Sesudah itu,
bentuk perilaku baru yang dihadapinya terutama yang menyangkut perubahan
kebudayaan, penemuan baru, atau penemuan tiba-tiba, ide-ide baru yang
disebarkan dari luar masyarakatnya,yang mana seorang individu harus “memutuskan
sendiri” dan dengan demikian memainkan peranan dalam memberi arah baru kepada
kebudayaannya. Enkulturasi seorang individu selama tahun-tahun awal dari
kehidupannya adalah mekanisme pokok yang membuat sebuah kebudayaan stabil, sementara
proses yang berjalan pada anggota masyarakat yang lebih tua sangat penting
dalam mendorong perubahan.
Telah
dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa kebudayaan mempunyai sifat stabil
atau konstan dan juga berubah. Stabil dalam arti beberapa elemennya seperti
bahasa, hukum berlanjut terus tanpa perubahan besar selama waktu yang penjang.
Berubah karena elemen-elemen kebudayaan baik secara perlahan dan mungkin secara
tiba-tiba mengalami penggantian, penambahan atau pengurangan. Para antropolog
mengemukakan 3 proses utama dalam perubahan kebudayaan. Ketiga jenis proses
perubahan kebudayaan yang dimaksud adalah originasi, difusi, dan
reinterpretasi. Originasi adalah penemuan elemen-elemen baru dalam suatu
kebudayaan. Difusi adalah peminjaman elemen-elemen kebudayaan baru dari
kebudayaan lain. Adapun reinterpretasi adalah modifikasi elemen-elemen budaya
yang ada untuk memenuhi tuntutan zaman.
4.
Cultural Lag
Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat terkadang menimbulkan apa yang disebut
cultural lag atau kesenjangan budaya. Di dalam masyarakat, misalnya kita dapat
melihat cepatnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara
nilai-nilai takhayul tertentu sebagaimana sering ditayangkan di televisi, atau
kepercayaan terhadap perdukunan masih dianut oleh sebagian masyarakat.
Perkembangan teknologi komunikasi informasi begitu canggih, promosi produk
industrimenjadi efektif melalui teknologi tersebut. Sementara nilai-nilai
tertentu (seperti individu mempunyai tujuan dan kebutuhan pada dirinya sendiri,
hidup hemat, kejujuran) terabaikan. Akhirnya, muncul masalah dimana produksi
bukan lagi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebaliknya kebutuhan
manusia diciptakan oleh produksi dan promosi, pola hidup konsumerisme, mungkin
pula terjadi promosi produk industri yang mengabaikan nilai-nilai kejujuran.
2.3
Karakteristik
dan Kemajemukan Sosial Budaya Indonesia
2.3.1
Karakteristik
Fisik Suku-suku Bangsa di Indonesia
Para sarjana
Antropologi menggolongkan manusia kedalam tiga ras pokok, yaitu ras Kaukasoid (
putih ), Mongolid ( kuning ), dan ras Negroid( hitam ). Penggolongan ke dalam
ras tersebut didasarkan atas perbedaaan karakteristik wujud fisik yang tampak
nyata, seperti bentuk kepala, bentuk muka, bentuk hidung, bentuk mata, bibir
dan telinga, warna mata, rambut, dan kulit, bentuk rambut, serta bentuk dan
tinggi badan. Akan tetapi, menghadapi kesulitan dalam menentukan kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan penggolongan ras diatas maka biasanya
digunakanlah 11 konsep ras yaitu (1) ras kaukasoid, (2) ras mongoloid, (3) ras
negroid, (4) ras melanisia, (5) ras mikronesiapolynesia, (6) ras pygmee(Kongo),
(7) ras austroloid, (8) ras bushman hotentot, (9) ras ainu, (10) ras vedoid
(Wedda), (11) ras pygmee (Timur Jauh).
Sebagaimana
dikemukakan Agraha Suhandi (1985) berdasarkan hasil penelitian bahwa di
Indonesia dapat digolongkan kedalam 3 ras, yaitu ras Negroid, ras Mongoloid,
dan ras Vedoid (Wedda). Karakteristik dari masing-masing ras tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Ras Negroid
(Negrito): berkulit hitam, rambut keriting, tinggi badan kurang lebih 1,50
meter, kepala pendek (brachicephali). Unsur ras ini /masih tampak antara lain
pada suku bangsa di Irian Jaya (Papua).
2.
Ras Vedoid (Wedda): Kulit sawo matang, rambut
ikal,atau bergelombang, tinggi badan kurang lebih 1,50 meter , bentuk kepala
panjang (dolicho cephali). Unsur ras ini masih tampak pada suku bangsa Enggano,
Kubu, Dayak Barito, Toala di Sulawesi, Mentawai, Nias, dan tampak sedikit pada
sebagian kecil suku bangsa Batak.
3.
Ras Mongoloid: Ras
Mongoloid di Indonesia kadang-kadang disebut juga ras Melayu dengan
karakteristik: kulit agak kuning, rambut lurus, tinggi badan kurang lenih 1,50
meter, bentuk kepala pendek (brachichepali). Suku bangsa yang memperlihatkan
karakteristik ras ini merup[akan sebagian besar yang sampai sekarang terdapat
di Indonesia.
Menurut Kleiweg
de Zwaan (Agraha Suhandi, 1985) ras tersebut berasal dari Hindia Belakang yang
kemudian berpindah ke Indonesia karena berbagai sebab.
1.
Ras Melayu
Ras Melayu (Mongoloid) ini terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu sebagai berikut:
a.
Proto Melayu:
karakteristik fisiknya sama seperti yang telah dikemukakan diatas. Ras ini
masih tampak pada sukun bangsa di Kalimantan tengah, Toraja, Nusa Tenggara,
suku bangsa Batak, dan juga di Irian Barat.
b.
Deutero Melayu:
karakteristik fisik umumnya sam seperti yang telagh dikemukakan diatas, tetapi
bentuk kepalanya agak pendek (dolicho cephali). Unsur-unsur ras ini, antara
lain tampak pada suku-suku bangsa di daerah pantai Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Jawa, Madura, dan Bali.
Ada
suatu teori yang mengemukakan bahwa penduduk Indonesia pertama-tama adalah
bangsa Negrito. Kemudian, perpindahan bangsa-bangsa ke Kepulauan Indonesia ras
Wedda dan Melayu dari Hindia Belakang, kemudian mereka bercampur dalam waktu berabad-abad
sehingga menjadi satu dan melahirkan bangsa Indonesia yang sekarang. Memang
sulit menetukan ras apakah yang dominan yang terdapat pad bangsa Indonesia saat
ini. Namun demikian, kiranya anda dapat memahami tentang latar belakang
ragamnya karakteristik fisik bangsa Indonesia. Selain itu, dapat pula dipahami
bahwa pengertian ras berbeda dengan pengertian bangsa.
2.3.2
Karakteristik
Lingkungan Fisik Manusia ( Masyarakat ) di Indonesia
Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia luasnya kurang lebi 1.926.170 km persegi.
Wilayahnya berupa Kepulauan Nusantara yang terdiri atas kurang lebih 13.000
pulau yang meliputi laut, pedalaman diantara pulau-pulaunya. Dibandingkan
dengan luas wilayah negara-negara lain, betapa luasnya wilayah negara kita,
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang tinggal tersebar
di berbagai pulau tersebut, bahkan masih banyak pulau-pulau yang masih kosong
yang belum berpenghuni.
Secara
geografik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di antara benua
Asia dan benua Australia, dan di antara
samudera India dan samudera Pasifik. Posisi wilayah negara kita terletak pada
posisi silang yang tentu saja mempunyai implikasi fisikal, social,ekonomi,
maupun politik.
Secara
astronomik wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia terletak antara 95° BT
- 141° BT, dan antara 6°LU -
11°LS. Akibat letak astronomik tersebut seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
beriklim tropika. Di negeri ini berlangsung dua musim, yaitu musim penghujan
dan musim kemarau. Adapun mengenai waktu, terdapat 3 daerah waktu, yaitu WIT,
WITA, dan WIB.
Lingkungan
fisik masyarakat (bangsa) Indonesia terdiri atas pegunungan, hutan, perbukitan,
sungai, pesisir pantai, lautan, daratan, rawa-rawa. Ditinjau dari segi
topografi lingkungan fisik ini ada yang berupa lereng yang curam, landai,
datar, lembah. Sedangkan ditinjau dari segi hidrologi lingkungan fisik ini ada
yang gersang, kering, lembab, dan basah.
Diperkirakan
kurang lebih 20% masyarakat kita bermukim di berbagai kota. Dalam konteks ini
yang dimaksud kota adalah ibu kota: negara, propinsi, kabupaten atau kota, dan
kecamatan. Sedangkan kurang lebih 80% lainnya bermukim di pedesaan atau
perkampungan. Lingkungan fisik permukiman mereka secara khusus juga cukup beragam. Keragaman tersebut antara lain ada
yang bermukim di sepanjang jalan, di tepian sungai, seperti pada pola kampung
pada suku Bugis-Makasar, di puncak-puncak bukit atau gunung, seperti pola
kampung suku bangsa Nias, di atas rawa-rawa,
lembah-lembah, tepian pantai, dan sebagainya. Di antaranya lingkungan fisik
masyarakat kita masih merupakan daerah pedalaman atau terpencil sebagaimana
halnya pemukiman masyarakat suku bangsa Kubu yang bermukim di daerah perbatasan
antara Jambi dan Palembang, pemukiman masyarakat suku bangsa Mentawai di
Sumatera Barat, suku-suku bangsa yang hidup di pedalaman Kalimantan, Papua
(Irian Jaya),Halmahera, dan di daerah pedalaman di pulau-pulau lainnya.
Tuhan
menganugerahi masyarakat (bangsa) Indonesia lingkungan fisik yang luas,
bervariasi dan mengandung kekayaan luar biasa sebagai sumber alam bagi
pembangunan yang mendukung bagi pencapaian kemakmuran. Lingkungan fisik yang
beriklim tropis sangat kondusif untuk pertanian, dan pad umumnya tanahnya pun
subur (tetapi ada daerah-daerah yang tidak subur, seperti di pulau Flores);
mempunyai berbagai sumber mineral, sumber minyak, hutan kayu, kekayaan laut
gunung berapi, keragaman tumbuhan keragaman satwa. Selain itu, lingkungan fisik
masyarakat (bangsa) kita juga mempunyai keindahan tersendiri. Masyarakat
(bangsa) Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Tuhan YME, memanfaatkan kekayaan
lingkungan fisik tersebut dengan mengolahnya secara bijaksana agar
kelestariannya dan keutuhannya tetap terjaga demi kesejahteraan seluruh
masyarakat (bangsa) Indonesia.
2.3.3
Kemajemukan
Sosial – Budaya Bangsa Indonesia
Antropologi
Indonesia, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “Bangsa Indonesia yang mendiami
kepulauan Nusantara ini merupakan sebuah masyarakat majemuk, baik dalam hal
suku bangsa, agama yang dianutnya, adat istiadat atau lebih umum lagi dalam hal
kebudayaannya”. Apabila lingkaran hukum adat digunakan sebagai pengukur maka
ditemui paling tidak ada 19 daerah lingkaran hukum adat. Jika hukum adat
digunakan sebagai pencerminan sebuah kebuyaan maka akan ditemukan 19 ragam
kebudayaan. Ke-19 hukum adat tersebut kalau dilihat dari suku bangsa dan bangsa
pendukungnya maka keragaman tersebut makin menonjol (makin majemuk lagi) karena
terdapat lebih dari 200 jumlahnya. Keragaman tersebut bertambah ruwet lagi
dengan adanya keragaman yang dianut; Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan
kepercayaan-kepercayaan lainnya (Imron Manan, 1989).
Menurut
Parsudi Suparlan (A. W. Widjaya, 1986) dalam masyarakat Indonesia yang majemuk
terdapat tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai corak
sendiri-sendiri. Ketiga golongan kebudayaan ini sati sama lain memang berbeda,
tetapi saling berkaatan merupakan satu kesatuan sebagai kebudayaan Indonesia.
Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah (1) Kebudayaan Suku Bangsa atau
Kebudayaan Daerah, (2) Kebudayaan Umum Lokal, dan (3) Kebudayaan Nasional.
Masing-masing kebudayaan tersebut bukan hanya menjadi landasan bagi corak
pranata-pranata sosialnya, tetapi juga mewarnai corak dari berbagai
situasi-situasi sosial yang secara keseluruhan merupakan suasana-suasana (spheres)
kehidupan sosial yang dapat digolongkan ke dalam (1) suasana suku bangsa, (2)
suasana umum lokal, dan (3) suasana nasional.
Suasana
suku bangsa merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan para warga
masyarakat suku bangsa yang berlandaskan pada pranata-pranata sosial yang
bersumber dari kebudayaan suku bangsa. Suasana ini terwujud dalam kehidupan
keluarga, kehidupan masyarakat di desa, hubungan-hubungan kekerabatan, dan
dalam berbagai upacara dan ritual sosial
keagamaan. Suasana umum lokal merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan para
warga eesuatu bagian dari masyarakat
majemuk yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku bangsa sehingga
kegiatan-kegiatan kehidupan tersebut berlandaskan atas pranata-pranata sosial
yang bersumberkan atas kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang berlaku setempat;
dan dalam beberapa hal juga dipengaruhi oleh kebudayaan nasional. Suasana umum
lokal terwujud di tempat-tempat uum, pasar, dan di tempat-tempat pergaulan
terjadi. Suasana umum lokal merupakan wadah bagi terjadinya interaksi diantara
warga dari berbagai suku bangsa yang menjadi komponen dari masyarakat tersebut.
Suasana umum lokal biasanya lebih tampak perwujudannya dalam keidupan di kota
daripada di pedesaan karena di kotalah biasanya warga dari berbagai suku bangsa
itu lebih banyak dan lebih sering bertemu.
Adapun
suasana nasional biasanya terwuud dalam berbagai kegiata di kantor-kantor
pemerintahan, sekolah dan perguruan tinggi, dan berbagai upacara-upacara yang
bersifat nasional. Dalam suasana nasional identitas yang diginakan oleh para
pelakunya dalaminteraksi adalah bersumber pada sisstem penggolongan dan peranan
yang ada dalam kebudayaan nasional.
Untuk
lebih mendapatkan gambaran kemajemukan masyarakat dan kebudayaan Indonesi,
berikut ini akan dideskripsikan enam unsur kebudayaan unuversal beberapa suku
bangsa yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, di antaranya pola
perkampungan/desa, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, mata pencaharian
hidup, bahasa, kesenian, dan agama/religi.
1.
Pola
Perkampungan/Desa
Suatu
kesatuan pola perkampungan yang disebut kampung demikian juga perluasannya,
seperti desa bagi suku-auku bangsa di Indonesia memiliki pola yang
berbeda-beda. Agraha Suhardi (1985) secara umum penggolongan pola kampung atau
desa ini kedalam 3 pola, yaitu (a) pola kampung atau desa tinier, (b) pola kampung atau desa radial, dan (c) pola
kampung atau desa di tengah-tengah ada lapangan/alun-alun. Namun demikian, pola
–pola kampung disuatu daerah kadang kala menunjukkan adanya beberapa pola
tergantung dan keadaan lingkungan dimana kampung atau desa itu berada. Dengan
demikian tidak mungkin untuk mengatakan pola kampung tertentu merupakan pola
yang khas untuk suatu suku bangsa, sebab kenyataannya setiap suku bangsa
memiliki pola kampung/desa campuran. Contoh beberapa keragaman pola
perkampungan atau desa yang dimaksud sebagaimana dideskripsikan dalam uraian
dibawah ini.
Pola
kampung suku bangsa Sunda ada yang berderet, berkelompokdan ada pula yang
memiliki tanah lapang yang dilengkapi dengan lumbung padi, saung lisung (tempat
menumbuk padi), kandang ternak, balong (kolam), dan pancuran
(tempat mandi dan cuci).
Pola
kampung suku Jawa ditandai dengan adanya rumah-rumah beserta pekarangan yang
satu dengan yang lain dipisahkan denagn pagar bambu atau pagar hidip. Ada
diantara rumah tersebut dilengkapi dengan lumbung padi, kandang ternak, dan
perigi. Kampung yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan jalan kampung.
Rumah-rumah berjajar menghadap ke jalan. Pola kampung di Minangkabau hampir
sama dengan pola kampung suku bangsa Jawa, rumah-rumah terletak dikanan dan
dikiri jalan. Pola desa yang disebut nagari biasanya dilengkapi denagn adanya
mejid, sebuah balai desa dan pasar.
Pola
kampung pada suku bangsa Bugis-Makasar dibentuk oleh rumah-rumah berderet
sepanjang jalan atau sungai. Apabila
kampung itu terletak di sepanjang tepian sungai maka rumah-rumah itu dibangun
membelakangi sungai. Bagi suku bangsa Minahasa pola kampung dibentuk oleh
sekelompok rumah yang didirikan memanjang mengikuti jalan raya atau jalan
kampung. Pada suku bangsa Nias desa disebut bauna yang terletak
dipuncak-puncak bukit atau gunung dan terdiri atas beberapa puluh rumah dengan
bentuk denah menyerupai huruf U dan di ujung banua terletak rumah kepala
negeri atau kepala desa sebagai pusat yang menghadap suatu lapangan. Dikedua
sisi lapangan terdapat dua deret rumah
penduduk. Di Nias bagian utara, timur dan barat bentuk denah desa tidak
berbantuk U melainkan membentuk dua garis paralel.
Di Ambon
desa-desa di bentuk oleh sekelompok rumah yang didirikan sepanjang jalan utama.
Rumah-rumah di desa biasanya didirikan amat berdekatan, tetapi ada pula yang berjauhan satu sama lain
dan dipisahkan oleh pekarangan-pekarangan. Demikian pula di pantai utara Irian
Jaya, pola kampung itu membentuk beberapa deret rumah yang di antaranya
terbentang jalan.
Kampung-kampung
di Aceh biasanya dibentuk oleh rumah-rumah yang memiliki lahan luas sehingga
halaman tersebut terutama di kiri dan kanan serta belakang merupakan kebun.
Selain itu ada rumah-rumah yang didirikan berderet dan kadang-kadang bersatu
dibatasi oleh dinding penghalang, yaitu rumah-rumah yang dihuni oleh
keluarga-keluarga sekerabat. Lain halnya pola kampung di Kalimantan Tengah,
kampung biasanya hanya terdiri dari satu buah rumah panjang yang dihuni oleh
beberapa keluarga. Rumah demikian didirikan atas pekarangan yang luas di tepi
jalan atau tepi sungai.
2.
Sistem
Kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakatan di Indonesia dalm arti kepemimpinan formal dalm pemerintahan dari tingkat
propinsi sampai dengan kecamatan adalah sama. Namun, kepemimpinan pada tingkat
desa atau kampung dalam konteks kebudayaan suku bangsa atau daerah cukup
beragam. Keragaman tersebut antara lain seperti dideskripsikan dalam uraian berikut.
Dalam
masyarakat suku bangsa Batak huta (desa) merupakan masyarakat hukum yang
dipimpin oleh seorang kepala huta yang disebut penghulu. Penghulu dipilih dari
marga namora-mora diambil dan keturunan orang yang pertama-tama mendirikan
huta. Dalam melaksanakan tugasnya penghulu dibantu oleh dua orang pembantu,
yaitu senina yang diambil dan marga namora-mora dan anak beru yang diambil dari
marga bayo-bayo atau kerabat pendatang. Di samping itu, masih ada semacam dewan
yang terdiri dari orang tua-tua yang disebut pertua atau natoras-toras..
Dalam suku
bangsa Makasar masyarakat hukum teritorial adalah wanua di bawah seorang
pimpinan seorang karaeng n dibantu oleh seorang semacam patih yang disebut
sulewatang. Adapun dalam suku bangsa Aceh masyarakat hukum terkecil disebut
gampong. Pemerintahan barada ditangan seorang keuchi kedudukannya dapat
diwariskan kepada keturunannya. Dalam menjalankan pemerintahanya keuchi dibantu
atau kerjasama dengan teungkuyang merupakan pimpinan agama dan orang tua-tua
sebagai wakil dari penduduk. Keuchi dianggap sebagai bapak dari gampong,
sedangkan teungku disebut ibu dari gampong. Teungku disebut juga teungku
meunasah. Orang tua-tua biasanya diambil dan keturunan kerabat yang tertua,
sudah berusia dan dipandang mempunyai pengetahuan luas tentang adat istiadat.
Semua persoalan dibicarakan oleh keuchi, teungku, dan orang tua-tua. Di
Kepulauan Sawu, Sumba, dan Alor suku bangsa merupakan masyarakat hukum yang
tertinggi. Pimpinan ada ditangan dua orang kepala suku yang disebut duaemaramba.
Disamping itu, ada yang disebut duaekepu, deorai, atau mangun tanah yang
mempunyai kekuasan terhadap tanah. Tentu masih ada sistem sosial lainnya,
seperti pada suku Minangkabau, pada suku Jawa.
Pelapisan
sosial. Struktur masyarakat pada masa lalu (zaman kerajaan) adalah pertama,
golongan orang pada puncak kekuasaan kerajaan, dibentuk oleh sistem kekerabatan
yang memiliki suatu kekuasaan yang bersifat supernatural (dianggap suci,
mempunyai kekuasaan dan kedaulatan yang diterima tanpa bantahan oleh masyarakat).
Kedua, kelompok manusia di sekeliling atau di bawah golongan pertama yang
mengabdi untuk kejayaan kelompok pertama dengan penuh kesetiaan. Ini dibentuk
melalui kekerabatan atau jasa yang luar biasa terhadap kelompok pertama.
Ketiga, kelompok lapisan masyarakat
biasa.
Kerajaan-kerajaan
itu memang sekarang tidak ada lagi, tetapi pola dasar pelapisan sosial seperti itu pada beberapa suku bangsa di
Indonesia masih tampak berlaku. Pada suku bangsa Bugis masih dikenal adanya
golongan Andi, Tau Deceng, Tau Sama; pada suku bangsa Makasar dikenal golongan
Karaeng, Daeng, dan golongan Rakyat Biasa; di Bali dan sebagainya. Pada
dasarnya urutan sebutan-sebutan untuk setiap golongan masyarakat tersebut
menunjukkan hirarki pelapisan status sosial dari mulai yang tertinggi sampai
yang terbawah. Struktur sosial yang demikian ini juga menunjukkan perbedaan
keadaan ekonomi dari mulai golongan kaya sampai dengan yang miskin. Dewasa ini
pelapisan sosial kriterianya juga ditentukan oleh tingkat pendidikan, penghasilan.
3.
Sistem
Kekerabatan
Kekerabatan
adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan identitas para kerabat
berkenaan dengan penggolongan kedudukan mereka dalam hubungan kekerabatan
masing-masing dengan ego. Seseorang dianggap sebagai oleh seseorang yang lainnya
karena seseorang tersebut diakui sebagai seketurunan atau mempunyai hubungan
darah dengan ego. Pengakuan tersebut tidak dibatasi oleh ruang (misalnya karena
tempat tinggal seseorang itu berjauhan dengan tempat tinggal ego) atau karena
seseorang itu belum pernah berjumpa dengan ego, orang tersebut tetap diakui
sebagai kerabat oleh ego.
Terdapat
keragaman cara menarik garis keturuna dalam masyarakat Indonesia, antar lain
(a) Matrilineal, (b) Patrilineal, (c) Dobel Unilateral atau matri-patrilineal
dan (d) Parental atau Bilateral. Menarikgaris keturunan dengan car matrilineal
antara lain dianut oleh suku bangsa Minangkabau dan Enggano. Menarik garis
keturunan dengan cara patrilineal dianut oleh suku bangsa didaerah pegunungan
Aceh, Buru, Seram, Ambon, Kepulauan Kei, Aru, dan suku bangsa Batak.menarik
garis keturunan dengan cara Dobel Unilateral atau matri-patrilineal dianut oleh
suku bangsa Rejang dan sebagian suku bangsa Sumba. Sedangkan menarik garis
keturunan dengan cara bilateral atau parental dianut oleh suku bangsa Aceh,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa, Sunda, Madura, Sulawesi, Riau,
Bangka-Belitung.
4.
Sistem Mata
Pencaharian Hidup
Masyarakat
(bangsa) Indonesia mempunyai keragaman juga dalam sistem mata pencaharian
hoidupnya. Memang negara kita terkenal sebagai negara agraris, tetapi dalam
bercocok tanam terdapat berbagai cara yang dilakukan kelompok-kelompok
masyarakat sesuai dengan kondisi lingkungan fisik dan budayanya, seperti
berladang, bertegalan, dan bersawah. Berladang antara lain banyak dilakukan
didaerah luar pulau Jawa. Anda mungkin masih ingat dengan istilah perladangan
bakaran. Biasanya mata pencaharian seperti ini dilakukan oleh masyarakat suatu
daerah yang penduduknya relatif sedikit, tetapi daerah hutanya cukup luas.
Mereka membakar hutan dan menanaminya. Setelah panen tanah itu ditinggalkan,
selanjutnya mereka berpindah tempat dan membuka hutan baru, dan seterusnya.
Dipulau Jawa berladang dilakukan oleh suku Baduy (di provinsi Banten), ladang
mereka disebut huma. Huma pantang (tabu) diberi pupuk dan ditanami
tanaman-tanaman keras, selain itu mereka pantang mengolah huma dengan
menggunakan cangkul. Mata pencaharian bertegalan selain dilakukan di
daerah-daerah di luar pulau Jawa juga dilakukan di pulau Jawa. Bedanya
berladang dengan bertegalan, yaitu kalau bertegalan tanah diolah sebaik-baiknya
secara terus menerus, diberi pupuk, dan sebagainya. Bersawah anatara lain
dilakukan oleh masyarakat Bali, pengairannya diadkan secara bersama-sama oleh
penduduk oleh dengan membentuk badang yang disebut subak. Selain di Bali
bersawah juga dilakukan oleh masyarakat Pulau Jawa. Petani dalam hal ini
diklasifikasikan menjadi petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh
tani.
Selain dari
hidup bertani, diantara masyarakat Indonesia juga ada yang bermata pencaharian
melalui bertenak, sebagai nelayan, perikanan darat, perikanan tambak, dan
berdagang. Ada pula yang mengusahakan kerajinan dan pertenunan. Kerajinan
kulit, misalnya dilakukan oleh masyarakat di Yogyakarta, Garut. Kerajinan
ukiran seperti di Bali, Jepara; anyaman tikar dan bambu di Tasikmalaya,
kerajinan keramik di Plered (Jawa Barat), kerajinan pandai besi yang dilakukan
berbagai suku bangsa di berbagai daerah baik di Jawa maupun luar Jawa, demikian
juga pertenunan. Di samping itu, mata pencaharian sebagian kecil masyarakat
Indonesia juga sebagai pegawai atau buruh pabrik.
5.
Bahasa dan
Kesenian
Sebagaimana
termaktub di dalam Sumpah Pemuda (1928), bangsa Indinesia memang mempunyai satu
bahasa persatuan-kesatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Nmun demikia, hamper setiap
suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa
ibu atau bahasa daerahnya
masing-masing. Contohnya bkita mengenal bahasa Sunda(basa Sunda), bahasa Batak,
bahasa Melayu, bahasa Padang, bahasa Bugis.
Kesenian
pun demikian beragamnya di Indonesia. Hal ini baik berkenaan dengan music,
nyanyian, tarian, kerajinan tangan, yang menjadi ciri khas setiap suku bangsa
atau daerah masing-masing. Contohnya, anda mengenal seni pahat atau seni ukir
Jepara, Bali, Irian Jaya. Wayang kulit dari Jawa, wayang golek dari Sunda atau
Jawa Barat; batik Pekalongan (Jawa Tengah), Batik Garutan, Tasikmalaya (Jawa
Barat), BATIK Besurek (Bengkulu), dan sebagainya. Tari Betawi, tari Sunda, tari
Bali, dan sebagainya, tenun sarung Samarinda, Bugis, Lombok, Majalaya, tenunan
Ulos dari Batak, dan sebagainya. Selain itu anda juga mengenal mandau senjata
khas suku bangsa Dayak, badik (Bugis Makasar), keris (suku bangsa Jawa, Bali,
Minangkabau), kujang (suku bangsa Sunda), sumpit, panah, tombak (Papua).
Demikianlah bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa maupun keseniannya.
6.
Sistem
Agama/Kepercayaan
Kemajemukan dalam
masyarakat Indonesia juga berkenaan dengan agama atau kepercayaan yang dianut.
Di ntara warga masyarakat Indonesia ada yang menganut agama Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu Bali, Budha, Kong Hu Cu. Namun demikian,
dalam praktik kehidupan sehari-hari tampak unsur-unsur kepercayaan yang berada
di luar agama-agama tersebut diatas. Berkenaan dengan ini Agraha Suhandi (1985)
mengemukakan bahwa hampir pada setiap suku bangsa dikenali adanya mite atau
mitologi, yaitu kepercayaan tentang kejadian dari sesuatu, misalnya tentang
alam semesta, manusia, tentang mengapa matahari selalu terbit dari timur,
tentang kejadian padi, dan kejadian tentang tempat-tempat tertentu. Dari mite
tersebut dapat diketahui kepercayaan dari suku-suku bangsa tersebut bahwa
segala sesuatu itu tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi ada yang
menyebabkannya atau menciptakannya.
Pada suku
bangsa Nias dikenal mitologi tentang terjadinya alam semesta yang diciptakan
oleh Lowalangi. Pada suku bangsa Batak bahwa alam semesta ini diciptakan oleh
Debata Mulajadi na Balon yang berdiam di langit. Kepercayaan suku bangsa Batak
juga tercermin dalm kain tenun ulos. Di dalam setiap ulos selalu dibentuk oleh
3 macam warna yang menunjukkan bahwa dunia ini terbagi menjadi 3 , yaitu dunia
bawah, dunia atas, dunia tengah. Sedangkan mitologi yang terdapat pada suku
bangsa Floresmengemukakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Mori Karaeng
atau Deva sebagai dewa tertinggi. Tentu masih terdapat mitologi megenai
terjadinya alam semesta ini yang dipercaya oleh suku-suku bangsa lainnya di
Indonesia.
Demikian juga
terdapat keragaman mitologi dan legenda mengenai terjadinya tempat-tempat
tertentu yang diyakini oleh suku-suku bangsa tertentu. Misalnya, terjadinya
gunung Tangkuban Perahu (Sunda), Gunung Batok (Tengger), Danau Toba (Batak),
dan sebagainya.
Setiap suku
bangsa juga mempercayai akan adanya makhluk-makhluk halus yang menempati alam
di sekelilingi tempat tinggal manusia. Makhluk halus tersebut diyakini ada yang
baik suka menolong manusia. Untuk menjaga gangguan-gangguan tersebut
diadakanlah upacara-upacara, seperti memberi sesajen, mantra, dan upacara
lainnya.
Demikianlah
pula terdapat kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat pada
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia tertentu, alam semesta, dan pada
kata-kata yang diucapkan, seperti mantra. Kekuatan-Kekuatan gaib atau magis ini
(mana dalam bahasa Melanesia atau kire dalam bahasa Mentawai) dapat memancarkan
pengaruh baik maupun jelek bagi manusia. Berkaitan dengan ini untuk keselamatan
manusia, mereka juga melakukan upacara-upacara tertentu, ada
pantangan-pantangan (tabu) tertentu, ada mantra, dan sebagainya, demikian
beberapa keragaman berkenaan dengan sistem agama atau kepercayaan di dalam
masyarakat Indonesia. Anda tentunya masih dapat mempelajari atau
mendeskripsikan yang lainnya.
2.4
Implikasi
Karakteristik Manusia Indonesia Terhadap Pendidikan
2.4.1
Implikasi
Terhadap Dasar dan Akar Pendidikan
Pancasila dan
UUD 1945 tergolong kedalam wujud ideal kebudayaan bangsa atau kebudayaan
nasional. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indoonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai dasar Negara
Indonesia. Implikasinya maka pancasila dan UUD 1945 berkedudukan sebagai dasar
pendidikan nasional.
Profil
karakteristik masyarakat (bangsa) Indonesia antara lain adalah beragama, yaitu
berke_Tuhan-an Y.M.E. dan memiliki kebudayaan nasional. Karena itu, pendidikan
ahrus dikembangkan dengan berakar kepada nilai-nilai agama dan kebudaayaan
bangsa tersebut. Jika tidak demikian maka pendidikan tidak akan dapat
meningkatkan kualitas hidup bangsa secara utuh. Demikian pula jika pendidikan
dilaksaknakan dengan berakar pada kebudayaan bangsa lain, tentu akan
menimbulkan kesenjangan social-budaya. Bahkan mungkin identitas bangsa tersebut
akan habis dan muncel masyarakat baru yang terputus dari dimensi kesejarahan
kebudayaan bangsanya. Implikasinya maka pendidikan nasional hendaknya berakar
pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional.
2.4.2
Implikasi
Terhadap Pengelolaan Pendidikan
Pengelolaan pendidikan bersifat dekonstrasi. Mengingat betapa luasnya wilayah Negara Republik Indonesia serta
aneka ragamnya keadaan lingkungan fisik dengan segala kekayaan yang
dikandungnya, dan majemuknya keadaan social-budaya di Indonesia maka perlu
diambil suatu kebijakan dalam pengelolaan pendidikan agar efisian dan efektif.
Implikasinya maka kebijakan pengelolaan pendidikan dalam system pendidikan
nasional kita bersifat dekonsentrasi seperti tercermin dalam pasl 50 UU RI No. 20
Tahun 2003.
Dalam hal ini,
pengelolaan system pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri
(Menteri Pendidikan Nasional). Pemerintah pusat menentukan kebijakan nasional
dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional. Pemerintah daerah provinsi melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan,
dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah kabupaten/kota
mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan local. Sedangkan perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki
otonomi dalalm mengelola pendidikan di lembaganya. Yang dimaksud dengan otonomi
perguruan tinggi adalah kemandirian pergururan tinggi untuk mengelola sendiri
lembaganya.
Pengelolaan satuan pendidikan.
Pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Adapun
yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi
manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala
sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite
sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Pengelolaan
satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Pengelolaan satuan
pendidikan non formal dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hokum
pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada pesesta
diidik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan setuan pendidikan.
2.4.3
Kurikulum
Pendidikan
Kurikulum
berbasis kompetisi. Seperti telah anda pahami melalui
kegiatan belajar 1 bahwa kebudayaan yang berwujud ideal, wujud system social
atau kompleks aktifitas kelakuan berpola, dan wujud fisik berfungsi sebagai
dasar dan alat bagi manusia untuk dapat menanggulangi masalah-masalah dalam
menghadapi lingkungannya dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhan dan
kelangsungan hidupnya. Keragaman dan kekayaan lingkungan fisik yang dimiliki
masyarakat (bangsa) Indonesia akan kurang dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran
apabila masyarakat tersebut kurang berdaya untuk dapat mengelola dan
memanfaatkannya. Kesalahan dalam mengelola dan memanfaatkan keragaman dan
kekayaan lingkungan fisik yang ada justru akan menimbulkan malapetaka. Oleh
sebab itu, pendidikan hendaknya merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan
demikian hendaknya pendidikan diselenggarakan sebagai pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik. Implikasinya maka kurikulum pendidikan hendaknya
merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi. Maksudnya kurikulum itu hendaknya
mengembangkan seluruh kemampuan atau kecakapan hidup berbudaya dalam pengertian
luas yang meliputi berbagai elemen dari ketiga wujud kebudayaan secara
terintregrasi.
Kurikulum
nasional dan kurikulum muatan local. Ragamnya lingkungan fisik yang dihuni
masyarakat Indonesia, serta ragamnya keadaan social budaya menghadapkan suatau
tantangan bagi masyarakat (bangsa Indonesia). Tantangan yang dimaksud antara
lain berkenaan dengan :
1.
Pelestarian
intregasi bangsa yang bersifat majemuk agar tetap bineka tunggal ika
2.
Terbinanya
kepribadian bangsa, yaitu kepribadian bangsa Indonesia
3.
Standart
nasional mutu pendidikan
4.
Relefansi pendidikan
secara nasional
5.
Relefansi
pendidikan secara lokal sesuai dengan keadaan lingkungan dan social budaya
daerah atau suku bangsa yang bersangkutan.
Dalam
hal ini, perlu di catat bahwa integrasi adalah keserasian satuan-satuan yang
terdapat dalam suatu sistem (bukan penyeragaman tetapi hubungan satuan-satuan
sedemikian rupa dan tidak merugikan masing-masing satuan). bahwa kepribadian
bangsa Indonesia bukan kepribadian keseluruhan tetapi juga mencerminkan
cirri-ciri suku bangsa, keagamaan dan lain-lain (A.W. Wijaya 1986).
Implikasi
dari semua hal di atas maka perlu di ambil kebijakan untuk tersedianya :
pertama, kurikulum nasional yang memungkinkan tetap lestarinya keadaan
masyarakat yang bineka tunggal ika,terbinanya kepribadian bangsa, terjaminnya
standar nasional mutu pendidikan, dan relevansi pendidikan secara nasional.
Kurikulum pendidikan nasional ini baik berkenaan dengan jenis pendidikan umum,
pendidikan akademik, dan jenis pendidikan lainnya. Kedua, kurikulum muatan
lokal yang memungkinkan terjaminnya relevansi pendidikan secara lokal, baik
dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya.
2.4.4
Wajib Belajar
Pada tanggal 2
mei 1984 pemerintah telah mencanankan gerakan wajib belajar sekolah dasar 6
Tahun. Tanggal 8 mei 1990 pemerintah menetapkan perintisan wajib belajar SUP,
dan pada tanggal 2 mei 1994 Presiden RI telah mencanankan gerakan wajib beljar
pendidikan dasar. Wajib belajar pendidikan dasar adalah suatu gerakan
pendidikan nasional yang diselenggarakan di seluruh Indonesia bagi warga Negara
Indonesia yang berusia 7-15 Tahun untuk mengikuti pendidikan dasar atau
pendidikan yang setara sampai tamat. Jadi wajib belajar ini lamanya 9 tahun,
diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan tiap tahun di SLTP atau sederajat.
Ditinjau
dari sudut antropologi, yaitu berkenaan dengan karakteristik social budaya
Indonesia terdapat beberapa hal yang turut berimplikasi terhadap kebijakan dan
penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar ini, diantaranya pertama salah
satu tujuan Negara republic Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, nilai dan norma yang mengakui kesamaan hak setiap warga Negara untuk
mendapatkan pendidikan sebagaimana termaktub pada pasal 31 UUD 194. Ketiga,
keragaman lingkungan fisik masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di
pedesaan terpencil dan terisolasi. Keempat, pelapisan social ekonomi (yaitu
tinggi, menengah, dan rendah atau miskin) dimana dalam masyarakat Indonesia
masih cukup jumlah masyarakat miskin. Kelima, asumsi mengenai fungsi pendidikan
demi pembudayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keenam, asumsi mengenai fungsi
kebudayaan sebagai dasar dan alat bagi manusia untuk dapat menangani
permasalahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keadaan
tersebut di atas memberikan implikasi terhadap kebijakan dan penyelenggaraan
wajib belajar antara lain berkenaan dengan berikut ini :
1.
Adanya
kebijakan mengenai peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi
semua anak usia pendidikan dasar dengantarget utama daerah dan masyarakat
miskin dan terisolasi.
2.
Adanya kebijakan
tentang keragaman satuan pendidikan penyelenggara wajib belajar pendidikan
dasar berupa : SD biasa, SD kecil, SD pamong, SD luar biasa, Sekolah luar
biasa, SD terpadu, Program kejar paket A, Ujian persamaan SD Madrasah
Ibtida’iyah, dan Pondok Pesantren, SLTP biasa, SLTP kecil, SLTP terbuka, SLTP
LB, SLB, SLTP Terpadu, Program kejar paket B, Ujian persamaan SUP, MTS, MTS
terbuka dan Pondok pesantren.
2.4.5
Gerakan
Nasional Orang Tua Asuh
Pelaksanaan
pendidikan memerlukan dana atau biaya yang memadai. Anda telah memahami bahwa
dalam system social masyarakat Indonesia terdapat pelapisan social ekonomi.
Secara umum dan kasar dapat di deskripsikan pelapisan social ekonomi tersebut
terdiri atas :
a.
Lapisan
masyarakat kaya
b.
Lapisan
masyarakat menengah
c.
Kapisan masyarakat
miskin.
Khususnya
bagi masyarakat miskin untuk dapat membiyayai ank-anaknya agar dapat
menyelesaikan pendidikan pada sekolah dasar saja sudah sulit, atau bahkan tidak
mampu, apalagi untuk menyelesaikan wajib belajar 9 tahun dan selanjutnya. Di
pihak lain pemerintahpun memiliki keterbatasan anggaran pendidikan. Sementara
mereka mendapatkan jaminana hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan
mendapatkan kewajiban belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Implikasi
dari kenyataan di atas perlu ada kebijakan untuk melaksanakan peranan sebagai
orang tua asuh oleh masyarakat yang berstatus social ekonomi tinggi atau kaya
dan mungkn juga lapisan menengah sangatlah mulia, sehingga dengan demikian
diharapkan kesulitan untuk menanggung beban biyaya pendidikan bagi masyarakat
miskin dapat teratasi, dan anak-anak mereka diharapkan menuntaskan wajib
belajar 9 tahun, atau juga sampai kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sejalan dengan hal di atas, pemerintah melalui keputusan Mentri social RI No
52/HOK/1996 Telah mengambil keputusan tentang pembentukan lembaga gerakan
nasional. Gerakan nasional orang tua asuh GNOTA dan dikeluarkan pula intruksi
mentri dalam negeri no 8 tahun 1997 tentang pembentukan lembaga gerakan
nasional orang tua asuh.
2.4.6
Implikasi
Karakteristik Kebudayaan Terhadap Praktek Pendidikan
Anda telah
memahami bahwa kebudayaan antara lain memiliki karakteristik ideal dan aktual,
serta stabil dan beruba. Karekteristik kebudayaan ini tentunya berlaku jiga
dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Karakteristik kebudayaan ini mengandung
potensi untuk memunculkan masalah dalam praktek pendidikan. Tentu saja dengan
syarat apabila tidak ada kesejalanan antara kebudayaan aktual dengan kebudayaan
idealnya. Demikian pula mungkin terjadi konflik antara kebudayaan baru dengan
kebudayaan yang di anggap sudah stabil atau mapan.
Kebudayaan
ideal versus kebudayaan aktual. Kita memiliki nilai budaya yang ideal contoh
korupsi adalah perbuatan jahat, tetapi secara aktual korupsi terjadi di banyak
tempat. Keadaan seperti ini tentunya menimbulkan konflik pada individu tertentu
muncullah nilai baru yang tersirat dalam kalimat “kalau tidak ikut gak
kebagian” atau “daripada dimakan oleh atasan mendingan dibagi-bagi untuk kita:
dalam praktek pendidikan kadang terjadi pula ketidak sejalannan antara nilai
ideal dengan nilai aktual, missal para guru yakin bahwa adil itu baik. Akan
tetapi dalam praktek pendidikannya terkadang ada guru berbuat tidal adik, kalau
siswa dating ke kelas terlambat, siswa yang bersangkutan diberi hukuman. Sebaliknya
jika guru datang terlambat siswa harus menunggu, keadaan ini tentu menimbulkan
konflik pada diri siswa, oleh sebab itu sesungguhnya guru harus menjadi
teladan. Artinya hmesti terdapat kesejalanan antara kebudayaan ideal dan
kebudayaan aktual..
Stabil
versus perubahan. Melalui pendidikan, masyarakat berupaya melestarikan
kebudayaannya yang dipandangnya sudah mapan. Akan tetapiapabila pendidikan
hanya berfungsi melestarikan nilai-nilai lama saja maka peserta didik menjadi
tidak kreatif untuk mengadakan perubahan atau pembaharuan. Kebudayaan akan
statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman sebab itu pendidikan juga
harus bersifat inovatif dan kreatif dengan demikian peserta didik akan kreatif,
memiliki motifasi untuk melakukan perubahan dalam kebudayaan. Berkenaan dengan
nilai-nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat baik yang lama maupun yang
baru, peserta didik mempunyai kesempatan untuk melakukan evaluasi titik
permasalanya apabila diberi kebebasan seperti itu, biyasanya peserta didik melakukan
perubahan jauh lebuh dalam dan lebih luas lagi. Mungkin mereka melakukan
organisasi, difusi atau reinterpretasi. Keadaan seperti ini mungkin akan
menimbulkan konflik diantara mereka yang mempertahankan nilai-nilai lama yang
di anggapnya sudah mapan dengan mereka yang ingin melakukan perubahan. Apakah
pendidikan harus selalu mengikuti perkembangan zaman dengan nilai-nilai yang
telah berubah atau tetap melestarikan nilai-nilai lama?
Dalam
konteks uraian di atas pendidikan berada di simpang jalan, tentu saja pendidik
harus menentukan pilihan arah dan melanjutkan perjalanan, dua arah jalan di
atas saling berlawanan ibarat buah simalakama. Sehubungan dengan itu agar
pendidik tepat memilih arah ia harus kembali kepada nilai-nilai yang menjadi
dasar pendidikannya. Pancasila dan UUD 45 adalah dasar pendidikan kita,
implikasinya kita memang perlu melestarikan kebudayaan lama yang di anggap
mapan, sebaliknya juga tidak menolak perubahan. Akan tetapi dalam melakukan
perubahan atau dalam mengikuti perkembangan zaman tersebut pendidik harus
melakukan efaluasi apakah perubahan yang akan dilakukan dalam rangka mengikuti
perkembangan zaman itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar tersebut?
Oleh karena pancasila dan UUD 45 berstatus sebagai dasar pendidikan nasional
maka pancasila dan UUD hendaknya di jadikan acuan dan arah dalam rangka
melakukan fungsi perubahan (kreasi atau inovasi dalam pendidikan). Prinsip
perubahan dalam pendidikan bukanlah mengikuti perkembangan zamakn atau
kebudayaan yang sedang berubah, melainkan melakukan perubahan dengan mengacu
kepada nilai-nilai dasar tertentu dan mengendalikannya kea rah tujuan tertentu
pula.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam arti sempit kebudayaan ditafsirkan
orang sama dengan kesenian, sedangkan dalam arti luas kebudayaan meliputi
hampir seluruh kehidupan manusia. Manusia menciptakan kebudayaan dan karena
kebudayaannya manusia hidup berbudaya. Kebudayaan mempengaruhi (membangun)
kepribadian seseorang. Kebudayaan mempengaruhi atau membangun kepribadian
melalui enkulturasi atau pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu pranata
kebudayaan, pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Terdapat hubungan komplementer antara kebudayaan dan
pendidikan. Kebudayaan menjadi input bagi pendidikan, sebaliknya pendidikan
memiliki fungsi konservasi dan inovasi bagi kebudayaan.
Manusia
atau masyarakat Indonesia bersifat majemuk, tetapi mereka tetap satu, yaitu
bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia meliputi karakteristik
fisiknya,lingkungan fisiknya, dan social budayanya. Lingkungan fisik kepulauan
nusantara di mana massyarakat (bangsa) Indonesia tinggal juga bersifat majemuk.
Pancasila
dan UUD 1945 tergolong wujud ideal kebudayaan nasional. Pancasila berfungsi
sebagai falsafah hidup bangsa, serta jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Adapun wujid ideal dari kebudayaan berfungsi sebagai dasar dan alat bagi
manusia, untuk dapat mengatasi berbagai masalah dalam menghadapi lingkungannya,
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan bagi kelangsungan hidupnya
implikasinya bahwa pancasila dan UUD menjadi dasar bagi pendidikan nasional.
Sebagai slah satu pranata kebudayaannya.
Profil
karakteristik fisik, lingkungan fisik dan kemajemukan social budaya Indonesia
antara lain berimplikasi terhadap sifat pengelolaan pendidikan, wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun, gerakan nasional orang tua asuh, dan kurikulum
pendidikan. Adapun karakteristik kebudayaan akan berimplikasi bagi praktek
pendidikan khususnya terhadap pendidik dalam rangka melaksanakan perannya dalam
konteks konserfasi dan melakukan perubahan kebudayaan. Selain itu juga terhadap
peranana pendidik dalam rangka menyelaraskan antara kebudayaan aktual dengan
kebudayaan ideal.
Daftar Pustaka
Wahyudin,dinn,dkk.Pengantar Pendidikan.Jakarta:Universitas
Terbuka,2011.
Tarwotjo.Pengantar Antropologi Pendidikan Indonesia.Jakarta:Balai
Pustaka,1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar